Pages

Sabtu, 25 Oktober 2014

Dunia dalam genggaman, tapi tidak di hati


al-Kisah, hiduplah seorang Syekh yang sangat zuhud. Ia dikenali sebagai perangai yang luar biasa zuhudnya. Ia memiliki begitu banyak murid yang hebat pula. Hari-harinya diisi dengan munajat panjang tanpa henti. Pekerjaannyapun sangat sederhana, sekadar cukup untuk makan hari itu.


Pekerjaan Syekh ini adalah memancing di sungai untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Ini dilakukan setiap harinya. Uniknya, dia tidak mengambil keseluruhan bagian ikan yang didapatkannya. Ia hanya mengambil kepala ikannya kemudian badan ikannya dibagikan kepada orang yang membutuhkan. Dikenallah ia dengan gelar Syekh Kepala Ikan.


Suatu hari ia meminta salah seorang muridnya untuk menemui gurunya yang berada di kota. Sudah sangat lama ia tidak mendengarkan nasihat gurunya.Hanya karena kesibukannya untuk memancing demi melayani orang-orang di sekitarnya dengan ikan hasil pancingannya maka ia tidak bisa menemui gurunya secara langsung. Si murid bersedia.


Berangkatlah si Murid ke kota untuk menemui guru dari gurunya itu. Ia mendatangi rumah sebagaimana petunjuk gurunya. Sampai di depan pagar,  ia tersentak. Di dapatinya sebuah rumah bak istana megah. Di jalanannya dibentangkan permadani-permadani mahal. Taman-tamannya dihiasi dengan pancuran air dan lampu-lampu mahal. Di sana-sini penjaga bersileweran. Ia ragu, ini bukanlah rumah yang hendak dituju. Tidak mungkin gurunya memiliki guru yang hidupnya dalam kefoya-foyaan harta sementara muridnya mengajarkan tentang kezuhudan.


Di tengah keraguannya, ia ditanya oleh salah seorang penjaga. Ia menjelaskan bahwa ia diutus untuk menemui guru yang bernama Syekh Fulan bin fulan. Si penjaga mengiayakan bahwa tempat inilah yang dituju. Ia lalu diantarkan menghadap kepada Syekh tersebut. Setelah menjelaskan asal-usulnya,ia lalu menyampaikan hajatnya.
“Apa hajatmu?” Tanya syekh tersebut.
“Guruku yang bernama Fulan bin Fulan meminta anda untuk memberinya nasihat melalui aku,”
“Kalau begitu kembalilah ke gurumu, sampaikanlah bahwa gurumu memberikan nasihat untuk berlaku zuhud terhadap dunia,” kata syekh itu dengan mantap.


Sang murid ini pun pulang dengan penuh kebimbangan. Bagaimana mungkin dirinya dinasihati agar menjauhi dunia sementara si pemberi nasihat sendiri memiliki kekayaan yang berlimpah.


Ia menghadap ke gurunya lalu menceritakan seluruh ihwalnya.Termasuk segala kebimbangannya terhadap apa yang disaksikannya. Gurunya tertawa.
“Begitulah hebatnya guruku, saat dunia berada di tangannya ia tetap bisa berlaku zuhud. Sangat berbeda denganku, betapapun telah kujauhi dunia tapi masih saja dunia membuatku terkesan. Bukankah Sulaiman juga adalah seorang nabi yang dilimpahi kekayaan yang tak terbatas. Bisakah kita menuduh nabi Sulaiman sebagai orang yang tidak berlaku zuhud dengan dunia?” Jelas gurunya.


Apa yang kau miliki, sementara tak satupun bisa kau ciptakan. Di dunia ini tak ada yang bisa dimiliki, dan semuanya tidak memiliki dirimu juga. Yang berhak memiliki adalah Allah, dan dirimu tidak dimiliki oleh selain-Nya.


Tradisi Tasawuf mengajarkan seperti itu: tak ada kepemilikan. Yang ada adalah asahan menuju ke kesempurnaan. Untuk beberapa abad, para sufi diidentikkan dengan pakaian kumuh dan hidup dalam kemelaratan karena tak punya apa-apa. Lalu digelarilah si Faqir. Mungkin saja itu benar sebagai gerakan pemberontakan terhadap hidup glamour yang berada di zamannya. Ia ingin memberikan kesan kepada manusia bahwa ketiadaan harta bukanlah berarti tak dapat hidup bahagia. Kini tibalah saatnya di mana sufi harus menguasai perekonomian, pemerintahan, social dan di segenap lini kehidupan. Ini demi mengajari kita bahwa dekat dengan harta dan jabatan tak lantas membuat jauh dari Tuhan.


Sufi adalah orang yang tidak memiliki dan tidak dimiliki. Saat dunia ada dalam genggaman, tapi tidak sampai merasuk di hati.

Sabtu, 18 Oktober 2014

Di Tepian Sungai


Dalam Muqaddimah Matsnawi, Rumi bersenandung dengan indah:



Dengarlah lagu seruling bamboo menyampaikan kisah pilu perpisahan
Tuturnya, “sejak aku berpisah dengan asal-usulku pokok bamboo yangrimbun, ratapku membuat lelaki dan wanita mengaduh.

Dalam pilu hari-hari hayat kami berlalu tak kenal waktu hari-harikami berjalan bersama kepiluan membara.


Di balik sebuah benteng ada sungai mengalir. Jernih airnya. Suara gemericiknya menemani hari-hari seseorang yang tengah berbaring  di atas sebuah benteng. Dia kehausan, sementara dinding tebal menghalanginya untuk mendapatkan air di sungai itu.Bagaimanakah derita seekor ikan yang dipisahkan dengan air? Begitulah gundahnya di atas benteng itu, putus harapan.

Teringat kisah, konon dahulu kala sebelum dunia digulung dengan alat komunikasi canggih. Kerinduan kepada sang kekasih itu diobati dengan mendatangi ketinggian. Di atas ketinggian itulah disenandungkan nyanyi rindu sembari memandangi rumah sang kekasih. Walaupun sekadar menatap atapnya, itu sudah menggetarkan baginya. Mengapa tidak mendatangi? Sebab dahulu adab lebih didahulukan dari nafsu.

Teringat dengan sebuah lagu yang pernah popular di zamannya dinyanyikan oleh Muhsin Alatas: “di antara hatimu-hatiku terbentang dindingyang tinggi. Tak satu jua jendela di sana agar kumemandangmu.”

Gemercik air samar-samar di dengar oleh orang yang tengah kehausan itu. Ia penasaran, sepertinya sebuah rindu akan segera terjawab. Dia mengambilbatu kerikil lalu melemparkannya ke dalam sungai. Ada suara percikan yang lebih keras terdengar indah di telinganya. Ada harapan, ada semangat.

Cinta memberi kekuatan. Ia merobohkan tembok itu sedikit demi-sedikit. Mulailah batu-bata di pukul, dipalu atau diapapun agar roboh. Setiap bongkahan batu yang terjatuh ke dalam sungai semakin jelaslah percikannya, semakin bahagialah ia. Baginya ia mendapatkan dua kebahagian ketika merobohokan tembok itu. Tidak hanya suara gemercik air yang menghidupkan hati dari kemeranaan tapi juga setiap bongkahan batu yang terjatuh akan lebih memberi peluang baginya untuk bertemu dengan sungai. Mencicipi segarnya airnya.Menikmati indahnya pinggirannya yang ditumbuhi pepohon rindang sejauh mata memandang. Sepertinya pohon itu mencicipi air dari sungai yang sama.

Tembok adalah tamsil hijab. Ia menghalangi para pejalan Tuhan untuk bertemu dengan-Nya, mengungkap segala rahasinya. Sebenarnya manusia adalah perindu yang kata Rumi, seperti suara seruling adalah nyanyian kerinduan untuk kembali ke rerimbun bambu. Perhatikan bayi yang baru lahir, mengapa dia menangis di saat yang di sekitarnya tersenyum? Sebab kehidupan di Rahim adalah kehidupan bercengkrama dengan Tuhan. Lalu keterpisahan itu membuat luka dan kitapun menangis.

Seiring waktu, suara tangisan itu tidak lagi diartikan sebagai rasa sakit karena keterpisahan. Air susu, makanan, harta benda,sahabat dll berbicara bahwa dirinyalah jawaban dari rasa sakit. Dunia berbohong.Semakin dimiliki, semakin membuat dahaga. Padahal jauh di lubuk nurani terdalam,Tuhanlah yang sebenarnya dicari.

Taubat itu berarti kembali. Yang bersungguh-sungguh taubatnya akan menangis. Itu tangis kerinduan. Yang bersungguh-sungguh zikirnya  menangis. Yang bersungguh sungguh ibadahnya akan tersedu-sedu tersungkur merenda. Itutangis kerinduan. Tanda kembalinya seorang hamba kepada Tuhan yang selama inidibuat jarak oleh dunia yang menipu.

Akhirnya di tepian sungai seorang hamba merobohkan dinding-dinding keangkuhan dan kesombongan. Merobohkan dinding-dinding maksiat agar bisa mencicipi air keberkahan sebagaimana pohon-pohon yang tumbuh subur di tepian sungai.


Terakhir, kita dengar lagi senandung Rumi:
Kalaulah hari- hari kami mesti pergi, biarlah ia pergi! Kami tidakpeduli.
Kekallah Kau, sebab tiada sekudus Kau


Selasa, 14 Oktober 2014

Faqir

Yajnavalkya, seorang guru bijak pernah berkata:

Anda tidak akan pernah melihat Yang Maha Melihat dengan melakukan tindakan Melihat. Anda tidak akan pernah mendengar Yang Maha Mendengar dengan melakukan tindakan mendengar. Anda tidak akan dapat berpikir dengan Yang Maha Pemikir dengan melakukan pemikiran. Anda tidak akan dapat mempersepsi Yang Maha Mempersepsi dengan melakukan tindakan mempersepsi.
Latihan untuk tidak mendengar, melihat dan mempersepsi adalah pekerjaan berat. Sebab ia bukanlah pekerjaan indra, ia adalah pekerjaan batiniah yang membutuhkan kedisiplinan latihan dibawah bimbingan guru. Demi menghilangkan rasa takut dan kengerian serta terbebas dari kecemasan, seorang terkadang harus menjalaninya bertahun-tahun. Bergulat dengan gejolak batin yang muncul di setiap maqam yang dilewatinya. Mustahil pencerahan bisa muncul kecuali terbebas dari ego agresif asertifnya. Mulailah diajari gaya hidup sederhana, merendahkan diri, mengurusi perapian Guru, berperilaku sopan tanpa pamrih kepada orang.


Ibnu Arabi pernah mengajarkan sebuah do’a yang unik. “Ya Allah, hamba menginginkan agar  tidak memiliki keinginan.” Keinginan dalam sudut pandang sufi tidak lebih dari nafsu yang memanggil untuk diberi makan dan ditumbuhkan. Mereka yang sibuk memenuhi keinginan pada akhirnya lupa untuk bersyukur. Maka apa yang ingin diajarkan oleh Ibnu Arabi tidak lebih dari keinginan untuk mencapai ketenangan jiwa. Orang yang menginginkan Tuhan dalam hidupnya itu sudah berarti tidak memilikilagi keinginan. Tidak akan meminta lebih dari yang dimiliki, hanya meminta untuk diajarkan cara untuk bersyukur yang lebih baik.

Di antara kaum Muhajirin terdapat orang-orang yang digelari fuqara. Mereka hidup di Masjid untuk menfokuskan diri kepada Tuhannya tanpa sedikitpun ragu jika Dia tidak memenuhi kehidupan sehari-harinya. Mereka adalah orang-orang yang tidak menginginkan apapun kecuali Allah. Inilah yang  digambarkan al-Quran:”Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Allahnya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaannya,”(Q.S. a-An’am:52)

Faqir, tidak berarti tidak boleh mencari harta untuk kebutuhannya. Namun sedikitpun tidak terbetik di hatinya kepemilikan terhadap apapun, dan juga tidak sedikitpun merasa dimiliki apapun. Sepenuhnya adalah untuk Tuhannya. Itulah mengapa Faqir menjadi salah satu jalan untuk menemukan Tuhan dan kita akan menemukan ajaran ini di seluruh ajaran sufi. Berkata seorang Syekh:Laysa al-faqir man khala min as-zad: innama al faqir man khala min al-murad,” Orang fakir bukanlah yang tidak memiliki persediaan makanan, akan tetapi orang faqir adalah yang tidak memiliki keinginan,”

Faqir, salah satu langkah untuk melihat kebenaran tanpa menggunakan indra

Minggu, 12 Oktober 2014

Self- Survival(Sintas Diri)

Ego takut akan pengalaman mistik yang mentransformasi diri. Perubahan besar yang akan terjadi selama dan setelah transformasi diri akan mematikan eksistensi ego. Dari “aku menjadi “kita” adalah hal yang menyakitkan bagi ego. Ego yang bersifat narsis lagi matersialistik berubah menjadi kasih sayang tanpa batas dan percaya kepada Tuhan bukanlah zona nyaman ego yang selalu menginginkan sifat stabil tanpa perubahan,

Sang Bayangan, Istilah Carl Gustav Jung untuk menggambarkan betapa gelapnya kehidupan ego. Ia selayaknya kekuatan Iblis yang menolak bersujud kepada Adam karena kesombongannya. Ia tidak ingin ada orang lain, hanya ada dirinya sendiri. Diri yang terpisah. Diri yang dijunjung. Sebagian Ulama ada yang mengatakan bahwa Iblis pada mulanya memang adalah kekasih Tuhan yang memiliki derajat selayaknya malaikat. Kecemburuan kepada Adamlah yang menurunkan derajatnya sebagai makhluk yang dilaknat hingga masa berakhir.

Walau para sufi memandang alam raya ini dengan cinta Tuhan, tetap saja setiap ada cahaya pasti ada bayangan. Sang Bayangan inilah pencuri apa yang berharga dari kehidupan spiritual manusia. Semakin berharga isi rumah spiritual manusia semakin ia mendatangi untuk merebutnya. Ia seperti wanita pecemburu yang menginginkan semua madunya hancur untuk mendapatkan perhatian lelakinya hanya untuk dirinya. Gemuruh perlawanan batiniah terjadilah. Amuknya kian hari kian membesar. Para penempuh jalan spiritual pemula seolah dibuat bingung, dari bahan bakar apa sehingga Sang Bayang itu tak pernah kehabisan energy? Padahal ia sendiri mulai lelah. Perang yang berkecamuk di dada itu telah digambarkan oleh baginda nabi sebagai perang melawan hawa nafsu. Ketika itu Rasulullah dan para sahabatnya telah kembali dari medan pertempuran yang sangat dahsyat karena memakan korban yang begitu banyak. Tapi Rasulullah berkata, “Sebenarnya kita baru saja pulang dari peperangan yang kecil menuju peperangan yang lebih besar.”

“Yang manakah peperangan yang lebih besar itu ya Rasulullah?”
“Perang melawan hawa nafsu.” Jawab Rasulullah.

Memang, perang yang terjadi di dunia luar tidak sebanding dengan perang yang berkecamuk di dalam diri. Di sini perang tanpa akhir, tapi di luar sana perang bisa saja berakhir. Di sini perang begitu kompleks, multi strategy dan butuh kejelian karena sekutu dan lawan serupa dan akan terus serupa sepanjang masa.  Tapi perang di dunia luar, segera akan diketahui siapa lawan, siapa sekutu.

Coba perhatikan, gelap malam yang mencekam. Si pencuri itu datang ingin mengambil seluruh perhiasan berharga di dalam rumahmu. Mengendap-ngendap, tapi dirimu memiliki insting yang sudah terasah sehinggap mengetahui langkah kaki yang tidak biasanya dan suara berisik yang asing. Dia pencuri. Dengan sigap engkau mengambil sebilah pisau sebelum ia menghabiskan seluruh perhiasanmu, tapi dia ternyata memiliki belati. Saat engkau mengambil pedang, ia mengancammu dengan samurainya. Saat dirimu menggenggam sepucuk pistol, ia menodongkan pistolnya juga. Seolah senjata apapun yang engkau miliki, semuanya dimilikinya juga. Si ego mencerminkan kekuatan apapun yang engkau miliki. Sang bayang muncul mencerminkan bentuk tubuhmu.

Namun tanpa senjata apapun, nyalakan lampu hingga cahayanya berpendaran memenuhi seluruh ruangan, Sang Bayang akan hilang.

Gagasan terburuk adalah melawan ego. Melawan adalah cara untuk selalu kalah dalam kompetisi melawan Iblis dan pasukannya. Betapapun kuatnya manusia, ketika diadu dengan syetan selalu saja manusia kalah dan syethan akan keluar jadi pemenangnya. Adalah sangat penting menghimpun sebanyak mungkin cahaya Tuhan, itulah cara terbaik memenangkan pertempuran tanpa peperangan. Sebenarnya engkau tidak melawannya, hanya saja Rahmat Allah begitu besar untukmu.


Jumat, 10 Oktober 2014

PUNCAK, menuju sempurna

Setidaknya ada empat cara pandang beragama dilihat dari perkembangan egonya.
Pertama.

Tuhan berada dalam persepsi hamba-Nya, demikian hadits qudsi menegaskan. Namun untuk mempersaksikan Tuhan sebagaimana adanya, seseorang harus benar-benar berani mengakhiri status quo fikiran beserta semua pengalaman yang pernah mengiringinya. Jika tidak, maka wajah Tuhan berubah-ubah sebagaimana persepsi yang keluar dari fikiran. Tuhan Maha Kasih di satu sisi dan Maha Murka di sisi yang lainnya sangat bergantung kondisi batin. Tuhan di sini menjadi hamba yang dicipta di ruang fikiran manusia.

Kedua
Mulailah Tuhan berwajah Tunggal: Dia menyayangi seseorang/kelompok tertentu, tapi tidak untuk yang lainnya. Dia adalah Tuhanku, bukan Tuhanmu sehingga engkau tidak layak mendapat curahan cinta-Nya. Selain dari kami, maka neraka.

Jiwa yang berada ditahap ini begitu yakin dengan cinta Tuhan kepadanya secara personal ataupun secara kelompok. Sayangnya mereka  mengekspresikan cinta Tuhan dengan kebencian kepada yang lainnya.  Tak seorangpun yang boleh memasuki surga kecuali melewati jalannya. Padahal penghakiman terhadap orang lain hanya menghambat bertumbuhnya batin. Kebenaran itu baik, tapi menyebut diri paling benar hanyalah merupakan kesibukan ego.

Ketiga
Ketika kedewasaan batin semakin tertata dimana mencintai terasa akan lebih indah dari dicintai. Menerima sama nikmatnya saat kehilangan. Pada kelompok ketiga ini, cinta tidak lagi diikuti kebencian. Cinta adalah cinta yang sama sekali bukanlah lawan dengan kebencian. Di sinilah wajah Tuhan tidak lagi bergantung pada kondisi batin seseorang. Yang terlihat sebagai bencana, tidak lebih dari vitamin yang akan menguatkan jiwa demi menaikkan maqam tauhid.  

Keempat.
Kelompok keempat adalah jiwa yang berada dipuncak. Jiwa yang tidak lagi terikat dengan apapun kecuali Tuhan. Tuhan adalah realitas sempurna sementara yang lain adalah bayangan dari Sang Realitas. Ketika tidak ada lagi yang wujud kecuali diri-Nya. Jiwa yang pasrah total dengan segala keputusan-Nya. Sehat sempurna, sakit juga sempurna. Sukses sempurna, gagal juga sempurna.Kehidupan sempurna, kematian juga sempurna. Kaya sempurna, miskin juga sempurna. Jiwa yang tidak lagi mengenal dualitas. Dalam bahasa al-Quran, “Wahai Tuhanku, tidaklah Engkau mencipta apapun kecuali sempurna dalam penciptaan.”

Jiwa yang di dalam dirinya tidak mengenal kamus celaan, apapun alasannya. Seperti kata konfiusisus,”Bila bertemu orang baik, teladanilah. Jika bertemu orang jahat, periksalah pikiran Anda sendiri”.

Modus Hidup






Cinta itu luhur, namun di zaman ini cinta terdegradasi menjadi kepemilikan. Istri adalah milik suami. Atau suami adalah milik istri. Di dapatilah lara berkepanjangan saat Istri sudah tiada. Kita mengenal Taj Mahl sebagai perlambangan cinta seorang Syah Jehan kepada Istrinya yang meninggal saat melahirkan anaknya. Taj Mahl adalah sebuah kuburan dimana sang kekasih tertidur sunyi untuk selama-lamanya. Entahlah, tapi begitu cinta  dengan modus memiliki tumbuh, keberpisahan akan menimbulkan lara yang tak pernah habis. Kisah lainnya adalah Qais dan Lailah, cinta gila. Atau di zaman modern ini kita mendapati orang yang bunuh diri karena kekasihnya telah meninggal.

Sebuah polemic terjadi di Indonesia. Istilah poligami adalah istilah yang disebut pun akan menjadi haram. Orang yang mengamalkannya akan menjadi tersangka kehidupan selamanya, tersisih dari masyarakatnya. Sebab menurut mereka, pernikahan adalah kepemilikan. Aku milikmu dan kau milikku, begitu lirik sebuah lagu. Poligami berarti menghilangkan makna pernikahan sebagai saling memiliki. Mahar dianggap sebagai aqad persetujuan memiliki barang yang bernama wanita. Ah, Sayangnya disini kita tidak membahas poligami secara lebar.

Untuk bertemu Tuhan, Musa harus menanggalkan rasa kepemilikannya. Rela meninggalkan tanah airnya, rela meninggalkan istana Fir’aun yang sebelumnya ia berada di bawah asuhannya. Bahkan ketika ia bertemu dengan Khidir, ia pun diajari untuk menanggalkan kepemilikan ilmunya. Di saat sepertiitulah Musa menerima pencerahan. Ini dilukiskan dalam al-Quran bahwa Musa menyaksikan pancaran api. Di lihat di surah an-Naml: 7-9:

(Ingatlah)ketika Musa berkata kepada keluarganya: "Sesungguhnya aku melihat api. Aku kelak akan membawa kepadamu khabar daripadanya, atau aku membawa kepadamu suluh api supaya kamu dapat berdiang". Maka tatkala dia tiba di (tempat) ap iitu, diserulah dia: "Bahwa telah diberkati orang-orang yang berada di dekat api itu, dan orang-orang yang berada di sekitarnya. Dan Maha Suci Allah,Tuhan semesta alam". (Allah berfirman): "Hai Musa, sesungguhnya, Akulah Allah, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Memiliki, adalah sebuah modus hidup yang bermakna menambah daftar barang, benda dan orang serta apapun itu. Bencana sudut pandang manusia yang mereduksi kehidupan spiritual. Manusia hanya bisa eksis ketika memiliki, tanpa memiliki manusia akan hilang. Mirip dengan perkataan filusuf: saya berpikir maka saya ada. Yah,saya memiliki maka saya ada. Di saat memiliki maka orang lain akan menganggap ada. Jika tidak memiliki harta, jabatan, anak dan sejenisnya maka bukanlah apa-apa. Modus hidup manusia modern.

Menurut  Erich Fromm, bahasa inggris memiliki evolusi yang menunjukkan bahwa kepemilikan di dunia Barat sama dengan eksistensi itu sendiri. Maka kamus Bahasa Inggris modern dipenuhi dengan kata yang berarti kepemilikan(to have). “Have” yang berarti memiliki tersisipkan pada aktivitas. Misalnya I have a rest, saya memiliki istirahat yang bermakna saya beristirahat, I have walk, saya memiliki berjalan bermakna saya berjalan.Cara hidup dengan modus kepemilikan menggempur manusia modern.

Cara hidup sufi terbebas dari modus kepemilikan. Cara hidup mereka bukanlah memiliki tapi menjadi. Sebuah asahan menuju ke kesempurnaan. Maka sufi terbebas dari keresahan, dengan atau tanpa dikelilingi oleh materi ia masih bisa tersenyum. Cukuplah Allah baginya. Bahkan sebetulnya ia tidak memiliki klaim kebenaran dalam kotak identitas. Klaim kebenarannya adalah kebenaran yang bersifat universal. Kebenaran adalahTuhan.

Senin, 06 Oktober 2014

Olah Kehidupan


Peradaban semakin jauh dari sikap rahmat. Palestina yang memiliki akar peradaban kenabian yang harus membara dengan peperangan yang tak pernah berhenti. Timur tengah secara umum terus-terus menumpahkan darah di bumi yang jejak para nabi dan pengikutnya pernah bertumpu di situ. Di sini saya sedang tidak mencoba mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Juga tidak mengatakan bahwa para nabi suci yang dikirim Tuhan telah gagal menyadarkan ummat. Hanya saja bumi jejak para nabi ini sedang berdiri sebuah monument kesedihan. Seolah kitab suci semuanya habis terbakar oleh kebencian dan keserakahan. Kita patut meratapinya. Andai saja seluruh nabi dihidupkan kembali di sana (salam dan shalawat untukmereka semua), apa yang mereka akan katakan?


Amerika Serikat yang konon menjadi induk demokrasi dan kemanusiaan(HAM) ternyata para pemimpinnya saling menyerang. Kewibawaan lembaga kepresidenannya terjatuh ketika Barack Obama berpidato di senat lalu diinterupsi dengan teriakan “bohong”. Masih ingat dengan Bush yang dilempari sepatu?

Bimbingan dari dalam



Serupa dengan ikan yang mestinya hidup di samudra yang luas di taruh di kolam yang sempit. Serupa burung yang terbang bebas di angkasa dikurung di dalam sangkar. Serupa itulah hidup yang tidak di letakkan di tempat yang semestinya: resah, pemberontakan, kerinduan bergabung menjadi menu keseharian kehidupan.

Kehidupan itu takdir yang mesti di jalani, dimanapun tempat yang Tuhan takdirikan. Selalu ada tempat dimana kita bisa berdamai dengan keadaan. Mata selalu tertuju ke luar menyaksikan kehidupan dengan ragam intriknya, tapi lupa menoleh ke dalam menyaksikan sebuah rumah di mana dialog dapat menghubungkan kita dengan kehidupan tanpa luapan kemarahan dan penyesalan. Efek yang luar biasa melanda kehidupan adalah hilangnya tempat rehat manusia yang sesungguhnya. Agama hanya menjadi komoditi sebuah komunitas yang juga bingung. Terjebaklah kita berdialog tentang Tuhan yang tenggelam di sebuah tempat yang antah-berantah, berbicara tentang Tuhan yang hilang. Lebih dari itu, bagi orang yang muak menyaksikan itu semua, Tuhan dimasukkan ke keranda dengan menyebutnya sebagai Tuhan yang mati. Na’udzubillah.

Pelabuhan yang mendamaikan: Agama


4 Oktober pukul 9:17 · 
Ketakutan adalah cara beragama yang banyak diperkenalkan. Peran para pegkhutbah agama menjadi hakim kehidupan dengan menakut-nakuti ummat dengan  siksa. Tidak saja di Indonesia, namun mencengkram kuat keseluruh penjuru dunia. Hingga kepelosok dimana asal-usul agama pertama kali dikhutbahkan para nabi suci. Azab yang pedih, ancaman neraka jahannam, dicambuk, hukum gantung, dipenjara, siksa kubur dll. Jika berbicara tentang kreativitas, maka para pengkhutbah agama  kini kehilangan banyak rasa pada kreativitasnya. Untuk lebih bisa menyentuh relung jiwa terdalam ummat, dibutuhkan nila rasa yang tinggi.


Cermin Hati

Pada awalnya kau melakukan dzikrullah,  
kemudian dzikrullah yang melakukan dirimu,dan akhirnya hanya ada dzikrullah.

Dzikir memiliki mekanisme dan daya hidup tersendiri. Sejatinya ia memoles hati menjadi cermin bening yang dapat memantulkan cahaya Tuhan.

Di dalam Matsnawi, Jalaluddin Rumi bercerita. Sebuah kompetisi seni digelar di Istana. Menghadirkan dua seniman terhebat sebagai finalis. Yang satu dari Cina satunya lagi dari Yunani. Tantangan diberikan kepada masing-masing seniman hebat itu. Masing-masing diberikan satu dinding istana yang saling berhadapan. Mereka dibebaskan untuk membuat karya apa sajadi dinding itu.

Tirai dipasang untuk menghalangi siapapun yang akan melihat kedua hasil karya seni itu. Mulailah seniman dari cina memenuhi dinding itu dengan lukisan yang rumit. Berbahan dari dedaunan emas, bebatuan permata dan cat air termahal di dunia. Sebaliknya, seniman dari Yunani malah hanya meminta amplas dan batu apung serta alat-alat sederhana lainnya untuk digunakan menghaluskan.

Setelah waktu yang ditentukan sudah selesai, Sang Raja pun datang untuk memberikan penilaian hasil karya kedua seniman itu. Sebuah maha karya diciptakan oleh seniman dari cina. Lukisan ditembok itu sangat mempesona. Batu, tanah, air hewan dan dedaunan terlihat sangat hidup. Menakjubkan bagi mata yang memandangnya. Sang raja bergumam tanda kagum. Belum pernah sekalipun ia melihat karya seni seperti itu.

Setelah selesai, sang Raja pun berpindah ke seniman Yunani. Tirai yang menutupi dinding diangkat. Ternyata seniman yang satu ini tidak menggambar apa-apa. Ia hanya memoles dinding itu sampai halus mengkilat. Cahaya yang memenuhi ruangan itu membuat dinding itu memantulkan secara sempurna gambar yang ada di depannya. Gambar yang dibuat oleh seniman dari Cina terlihat jelas di dinding milik seniman Yunani, bahkan lebih indah.

Begitulah kisahnya. Rumi ingin mengatakan bahwa cermin hati yang bersih akan memantulkan kehadiran Tuhan. Seperti danau yang tenang, akan memantulkan purnama yang indah. Keheningan jiwa akan mengantar pemiliknya melihat realitas yang lebih luas. Itulah jiwa yang teralihkan dari beban masa lampau dan harapan yang akan datang. Jiwa yang mengubur beban prasangka dan kebencian kepada orang lain karena pandangannya hatinya selalu melihat Tuhan kepada siapapun yang dijumpainya.

Guru-guru sufi selalu mengingatkan untuk tunduk hormat kepada yang lebih tua karena mereka sudah memiliki waktu yang sangat panjang untuk berinteraksi dengan Tuhan dan melayani sesama. Tapi juga tunduk hormat kepada yang lebih muda karena tidak memiliki waktu yang panjang untuk berdosa. Diakui bahwa ada nafsu yang bersikukuh untuk menganggap dirinya lebih baik dan selalu berpikir sebaliknya sebaliknya: ”usianya tidak setua aku jadi mereka tidak sealim dan secerdas aku. Usianya lebih tua dariku, ia pasti sudah banyak melakukan dosa.”

Pandangan hati yang selalu memantulkan citra Tuhan kepada siapa dan apapun akan membimbing manusia untuk selalu tunduk pada kehidupan. Semakin dalam citra Tuhan di kedalaman hatinya maka semakin hening jiwanya. Menjadi lafaz zikir yang tidak berputus. Para tetua kita dulu sering mengistilahkannya dengan: Zikir yang berkesinambungan, Wudhu yang tidak pernah batal.

Relasi dzikir seperti ini bisa dibangun dengan sangat sempurna. Jika saja seluruh kehendak kita dibangun atas dasar mengingat. Seperti membimbing lidah jiwa untuk melafaz dzikir. Setelah itu, bayi jiwa yang sudah dewasa akan melafaz sendiri tanpa perlu bimbingan. Setelah itu yang terlihat hanyalah dzikir dimana-mana. Tuhan hadir di setipa kehidupan.