Kahlil
Gibran adalah salah satu contoh manusia yang menyelami kesedihan. Di
dalam kesedihan itu ia mendapatkan makna. Lahirlah sebuah karya bak
kitab suci yang dikagumi semua orang. Mungkin karena dia memandang dunia
dari sisi yang berbeda.
Tangisan
itu manusiawi, sebagaimana tangisan suci Nabi Muhammad saw. saat
ditinggal Ibrahim anaknya. Bahkan digambarkan bahwa duniapun turut
menangis. Airmata yang keluar dari mata manusia suci ini sama dengan
air mata yang keluar dari mata kita, namun cara menyapa air mata itulah
yang berbeda. Rasa sakit yang muncul boleh jadi juga sama, namun cara
mendekap rasa sakit itulah yang berbeda.
Ternyata para
orang suci terdahulu pun mendaki tangga-tangga kesedihan. Mereka
melewatinya setapak-demi setapak sebagaimana adanya. Bahwa kesedihan
dankegembiraan adalah pasangan kehidupan yang memberi pengajaran. Bukan
sebagai hukuman yang menyesakkan yang mampu menghentikan perjalanan.
Dunia tetap berputar, matahari tetap terbit dari timur lalu tenggelam di
barat, manusia yang lain tetap dalam pekerjaannya sebagaimana
sebelumnya betapapun kita menunjukkan kesedihan. Kesedihan tak akan
mengubah apapun, kesedihan hanya melukai jiwa bagi yang tidak belajar
untuk mendekapnya.
Kehilangan mengajarkan arti
memiliki, begitu orang bijak berkata. Bagi yang merasa pernah memiliki,
dia akan kehilangan. Namun sejatinya kita tak pernah memiliki
apapun.Konsep kepemilikan akan menjadi nutrisi bagi ego untuk tumbuh
menggelembung. Di puncak sudah bertengger penderitaan mendalam. Merasa
tak memiliki dan tak dimiliki adalah ajara sufi yang begitu agung.
Dengan demikian mereka tergambar sebagai mana al-Quran memberi gambaran:
“mereka para kekasih Allah tidak ada kekhawatirandi dirinya dan tidak pun mereka pernah dihinggapi perasaan sedih”.Begitulah keberkahannya.
Saya
pun tidak tahu apakah Kahlil Gibran adalah benar-benar manusia yang
dibimbing oleh kesedihan atau sebaliknya, tapi setidaknya dia mampu
mengubah kesedihan menjadi sebuah karya. Semoga kita yang sedang mendaki
tangga kesedihan mampu terbimbing dengan tersingkapnya ego selapis demi
selapis. Kehilangan itu memberi tanda bahwa kita masih memiliki ego
untuk memiliki. Lepaskan! Di puncak pelepasan akan terlihat cahaya indah
yang membimbing. Inilah jiwa yang belajar pulang. Sebuat transformasi
besar dari ketakutan menuju kelapangan. Di titik ini terlihatlah bulan
purnama. Cahayanya disebut dengan pencerahan. Bagi yang sementara
belajar, bagian yang terang itu disebut cinta, bagian gelap di baliknya
disebut ketakutan. Namun kedua-duaya berasal dari bulan yang sama, hanya
saja bumi berputar.