Pages

Kamis, 25 Juni 2015

Tentang pelayanan

Pelayanan  itu  kata  lain  dari  cinta.  Ia  mendidik  melampaui  zaman  dari  sebuah  system.  Melatih  respon  dan membentuk  kebiasaan  mental  yang  terlihat  ramah,  lembut  dan  tidak  menakuti  yang  lainnya.  Kekuatan  dari  dalam yang tergiring keluar itu sifatnya  menyembuhkan kehidupan.

Pelayanan  adalah  kekuatan  yang  dapat  dipelajari.  Namun  hanya  dapat  dimengerti  saat  melakukannya.  Seperti  mereka yang  baru  dapat  benar-benar  mengerti  tentang  cara  mengendarai  motor  saat  benar-benar  mencoba  mengendarainya sendiri.  Atau  berenang  dengan  cara  mencemplungkan  diri  ke  dalam  kolam.  Kekuatan  pelayanan  bahkan  berpeluang mengubah  semuanya  bahkan  hingga  ke  susuan  syaraf  bahkan  hingga  ke  gen  kita.  Watak  yang  tumbuh  dalam  tradisi mengedepankan ego secara  perlahan lenyap tanpa  bekas. Tamsil  yang  paling  mudah  dimengerti  adalah  saat  kita  memiliki  beberapa  piring  makanan  lezat.  Jika  kebahagiaan diletakkan  pada  perut  maka  paling  banyak  yang  bisa  ditampung  adalah  dua  hingga  tiga  piring  makanan.  Namun  jika kebahagiaan  diletakkan  pada  pelayanan  kepada  manusia  dengan  cara  berbagi,  maka  berapa  banyak  manusia  yang membutuhkan?  Berapa  lama  kita  bisa  mengecap  kebahagiaan.  Itulah  rumus  tua  yang  dilupakan.  Itu  pulalah  sebabnya mengapa  mereka  yang mengabdikan hidupnya  untuk melayani tak pernah hilang dari wajahnya  senyuman.

Literatur  agama  ini  mengajari  pemeluknya  untuk  melayani.  Menyebut  mereka  yang  tidak  memiliki  luka  tergores walau sedikit saja  di dadanya  dengan pendusta  agama.  Walau ia  ahli  shalat  sekalipun. Tahukah  kamu  (orang)  yang  mendustakan  agama?  Maka  itulah  orang  yang  menghardik  anak  yatim,  dan  tidak  mendorong  memberi makan  orang  miskin.Maka  celakalah  orang  yang  shalat,  (yaitu)  orang-orang  yang  lalai  terhadap  shalatnya,  dan  enggan  (memberikan) bantuan kepada mereka.

Ada  mekanisme  otak  dan  kerja  hormon  yang  menimbulkan  reaksi  pelayanan.  Mesti  mekanisme  itu  tidak  sekuat instingtual  primitive  di  otak  tengah.  Sebab  ia  adalah  jawaban  reflex  terhadap  suatu  rangsangan  dari  luar  demi mempertahankan  kelangsungan  hidup.  Para  guru  tasawuf  selalu  bercerita  tentang  penataan  ulang  pikiran-pikiran  kita dengan  membuat  jarak  antara  nurani  dengan  insting  hewani  yang  merusak  itu.  Bagi  mereka  yang  berhasil  membuat jarak  ini,  semakin  jauh  jaraknya  maka  semakin  muaklah  ia  dengan  konflik.  Konflik  itu  adalah  dualitas  tentang  ―Aku‖ dan  ―Kau‖,  sementara  nurani  menginginkan  penyatuan.  Lelucon  itu  terdengar  merdu:  semua  manusia  menginginkan Tuhan namun bertengkar tragis seperti iblis yang tidak menginginkan penyatuan.

Sebetulnya,  otak  tengah  hanya  seolah-olah  menjadi  jawaban  reflex  untuk  mempertahankan  diri.  Konon  ia  akan bekerja  sangat  buas  ketika  tak  diberi  pilihan  lain.  Fight  or  flight.  Atau  mungkin  Tuhan  memberi  keseimbangan  yang lebih  manusiawi.  Ia  juga  jawaban  reflex  terhadap  sebuah  rangsangan.  Bayangkan  kita  berdiri  di  sebuah  tempat. Menyaksikan  seorang  bayi  menangis  meraung-raung  berayung-ayung  hendak  terjatuh  di  bibir  sumur.  Jawaban  reflex kita  adalah  menolongnya  tanpa  mempertanyakan  identitasnya.  Ada  kekuatan  yang  lebih  dari  sekadar  insting  dari dalam  yang  menghambur  keluar  memaksa  untuk  bertindak  penuh  cinta. 

Educere,    dalam  bahasa  latinnya.  Sebuah  pola pendidikan Tuhan lewat jalur fitrah. Dari  mana  memulainya?  Manusia  terlanjur  kecanduan  egoism.  Seolah  segala  hal  yang  terjadi  di  dunia  ini  tidak  akan bisa  selesai  kecuali  dengan  kebencian  dan  prasangka.  Penjelmaan  yang  benar-benar  sempurna.  Kebatilan  itu  muncul dan  mengaku  sebagai  kebenaran  nyaris  tanpa  cela.  Manusia  benar-benar  ditipu.  Dunia  tanpa  kekejaman  adalah rumus  tua  yang  mulai  ditertawakan.  Sumber  daya  alam  yang  semakin  sedikit  sementara  pemangsa  sumber  daya  alam melonjak  tak  terbendung  adalah  alasan  rasional  untuk  memangkas  jumlah  penduduk  dunia.  Penyakit  menular  dan peperangan  adalah  dewa  yang  dipuja,  sebagai  jawaban  dari  keterbatasan  makanan  yang  akan  mengisi  ruang  perut

Jumat, 12 Juni 2015

Dedaun yang jatuh

Serupa diterjunkan ke sebuah medan pertempuran, tidak ada pilihan lain kecuali perperang. Berdiam diri atau berpura-pura seolah tidak terjadi pertempuran adalah pekerjaan bodoh. Diam berarti terbunuh, sedangkan melawan masih memiliki beberapa kemungkinan menang, kalah atau draw.

Memang terlalu mengerikan jika perjuangan batin disebut dengan pertempuran. Kebenaran itu tidak mengerikan tapi menyejukkan. Hanya saja seseorang tidak boleh berpura-pura diam seolah tidak ada kecamuk di batin. Seperti kuda liar yang butuh ditambatkan lalu dipelihara. Seperti bandul yang berayun-ayun ke kiri dan ke kanan. Saat bandul bisa didiamkan, maka di saat itulah keheningan menyelimuti.

Pesona batin yang hening akan menghadirkan kebenaran yang menyejukkan. Akan terdengar kembali suara-suara yang terabaikan, suara nurani yang tenggelam dalam hiruk-pikuk bicara di kepala. Akan terlihat sebuah penyaksian yang mengagumkan, factor bahagia dan derita dalam versi kepala ternyata hanya sebuah ilusi. Ibnu Athaillah al-Iskandari mengingatkan untuk tidak merasa ganjil dengan penderitaan yang nampak. Apa yang nampak sebagai penderitaan ataupun kebahagiaan, maka seperti itulah adanya. Belajar menikmat tanpa keluhan. Sungai yang mengalir, dedaunan yang jatuh, matahari yang terbit tenggelam, awan yang berarak, hujan yang turun, seluruhnya adalah peristiwa yang alami. Jika pun harus terjadi maka akan terjadi. Seperti itu pulalah silih bergantinya penderitaan dan kebahagian, pujian dan cacian, kekayaan dan kemiskinan, kehidupan dan kematian, seluruhnya adalah peristiwa yang alami. Jikapun  harus datang maka akan datang, pada waktu dan tempat kejadian yang sempurna. Tidak ada yang ganjil.

Salah satu makna Islam adalah pasrah total,  ikhlas sempurna di hadapan Tuhan. Seluruh kehendak manusia lebur dalam kehendak Tuhan. Selayaknya pohon yang berdiri apa adanya, namun dalam diam ia bergerak mendekati cahaya dengan keikhlasan sempurna. Kepasrahan total seperti ini dapat terjadi jika saja tidak ada lagi keinginan, tidak ada lagi masa lalu yang disesali, tidak ada lagi masa depan yang menghantui. Yang tersisa hanya keikhlasan sempurna di masa kini yang abadi. Atau dalam bahasa Ibnu Athaillah: mengistirahatkan diri dalam mengomentari urusan dunia. Urusan yang telah diatur oleh Tuhan sedemikian rapi dan sempurna tidak perlu sibuk untuk turut campur. Jika begini akan bertemu ahwal batin yang apa adanya dalam penyaksian.Sebuah batin yang sepi dan sunyi, yang tersisa adalah senyuman bahwa Tuhan benar-benar  hadir di setiap peristiwa alam. 

Sayangnya ego mengajari untuk menghakimi setiap kejadian, mengomentari setiap malapetakan dan menangisi setiap kepedihan. Ego mengajari semua itu seolah bukan peristiwa yang wajar. Inilah pertempurannya jika pun harus dianggap pertempuran. Dalam pertempuran ini, kita memiliki modal utama, yaitu bergantung sepenuhnya kepada Tuhan. Dialah yang menuntun kaki untuk dapat berjalan menujun-Nya.

Ikhtiar lain yang bisa dilakukan adalah: Pertama, belajar melihat di kedalaman, misi kenabian adalah rahmat bagi seluruh alam, maka semua makhluk berhak bahagia dengan sentuhan agama, tidak ada satupun yang menginginkan derita. Mencitai setulusnya, bila belum bisa maka cukup dengan tidak menyakiti. Kedua, menikmati langkah keseharian dalam kesadaran yang sempurna. Sampai ketemu waktu yang berputar tanpa rasa, di tempat kerja serasa melakukan rekreasi. Atau memimjam ajaran Guru Zen: Sejatinya tidak ada sampah kesialan di kehidupan ini, semuanya hanyalah bahan yang tengah berproses menjadi bunga. Ketiga, semua kejadian serupa gelombang yang

Kamis, 04 Juni 2015

Menembus Kabut Fenomena

Tuhan tersedia bagi manusia dua puluh empat jam setiap hari dengan pelayanan yang sempurna. Rasa syukur yang dalam merupakan bentuk pemujaan yang akan mengantar manusia berjumpa langsung dengan-Nya. Manusia wajib menyadari,  Tuhan selalu terlibat dalam hidup manusia tanpa jeda. Ia memberi hidup sekaligus yang menyertai kehidupan ini.

Perhatikan berisiknya ombak yang menggulung, yang menerjang bibir pantai, yang  kecil-besar, yang kuat-lemah, perhatikan jika semuanya pada akhirnya jatuh hening di permukaan air. Tenang mengalir. Semakin  menuju ke kedalaman semakin tenang, semakin hening. Hidup yang terbiasa di atas permukaan akan terdengar riuh sebagaimana ombak yang senantiasa menghempas-hempas bibir pantai. Namun jika belajar menyelami ke kedalaman ada keindahan lain bercerita yang mengantarkan manusia menggapai keluasan tak berhingga. 

Kehidupan yang mengombak itu bernama kegelisahan, iri-dengki, bingung, tegang, sedih, amarah semua pada akhirnya merunduk pada permukaan air kehidupan. Ia bernama kedamaian. Ia bernama perjumpaan dengan yang Maha Kudus dalam keheningan. Sebagaimana ombak tak akan pernah ada jika tanpa air, sebab air adalah pondasi bagi ombak. Dengan begitulah manusia akan menemukan kedamaian jika ia kembali ke pangkuan dimana ia berasal, yang menjadi penopang kehidupannya semenjak ia dari ketiadaan sampai ia kembali ke ketiadaan. Ialah Allah, Tuhan semesta alam.

Seumpama ikan dengan air. Ikan dilingkupi oleh air. Air menghidupi ikan untuk semua kebutuhannya dalam pelayanan tanpa henti.. Tanpa air, ikan tak mungkin bisa hidup, bergerak, dan ada. Seperti itulah kedekatan manusia dan Tuhan: Manusia seperti ikan dan Tuhan seperti samudra. Tuhan melingkupi manusia secara menyeluruh  sekaligus mendalam. Di dalam sekaligus di luar, dalam pelayanan tanpa pamrih. Kehidupan akan terus bergerak, diminta atau tidak diminta. Orang yang mengingkari kehadiran Tuhan pun masih tetap bisa bernafas, diminta atau tanpa ia minta.

Jika berbicara fenomena dan neumena maka ombak bagi air adalah dunia fenomena. Tapi air itu sendiri adalah neumena. Ia adalah substansi bagi ombak yang tanpanya ombak tidak akan bisa ada. Apapun yang dapat diindra maka itulah yang disebut fenomena. Udara, manusia, buku, pepohonan, hewan kursi, rumah, gunung, , iklan, pakaian, TV, komputer,  handphone dan seterusnya adalah fenomena. Jika dapat diindra maka dapat pula diukur. Manusia dapat mengukur panas dengan thermometer, berat dengan timbangan, jarak dengan meter, kecepatan dengan stopwatch dst.

Berbeda dengan fenomena, pengalaman di dunia neumena nyaris tidak bisa dikonsepkan, hanya bisa dibahasakan dengan symbol-simbol rumit. Oleh karena itulah seorang Sufi yang terbiasa menyelami dunia neumena selalu dianggap gila atau jika tidak maka dia akan dianggap kafir. Sebab jika tiba saatnya ia berbicara kedalaman, ia akan mengungkapkan sesuatu yang nyaris tak bisa dibahasakan. Hingga saat ini, kedalaman memang masih diidentikkan dengan kegelapan.

Minggu, 31 Mei 2015

Tentang Kegetiran

Seperti mencintai kekasih, dan sebutlah namanya dengan syahdu. Ada getir halus yang merongrong jiwa, semakin disebut terasa kuat dorongan itu. Getir yang indah. Tiba-tiba semuanya jadi pelangi. Merekah tanpa pernah hujan, tanpa rintik tapi mencipta sinar. Namanya adalah keajaiban. Memenuhi panggilannya adalah pekerjaan paling menyenangkan.

Tapi seperti itukah imanmu? Yaitu ketika disebut nama Allah maka bergetarlah hatinya, dan ketika dibacakan ayat-ayatnya bertambahlah imannya...(al- Anfaal:2) Panggil namanya, sekali lagi. "ALLAH..." adakah getaran? Jika tidak, berarti ada dusta antara iman dan ibadah.

Suatu ketika orang Arab Badui datang menemui Rasulullah. Orang Arab Badui itu berkata:"Kami telah beriman." Katakanlah Muhammad: Kalian belum beriman, kalian  baru taat, karena iman belum merasuk ke dalam hatimu"(al- Hujarat:14)

***

Demi menjawab kegelisaha ini, penulis mendapati nasihat Imam Ahmad bin Hambal: "Anakku, kamu harus duduk bersama orang-orang sufi, karena mereka adalah mata air ilmu dan mereka selalu mengingat Allah dalam hati mereka. Mereka adalah orang-orang zuhud yang memiliki kekuatan spiritual yang tertinggi. Aku tidak melihat orang yang lebih baik dari mereka" (Ghiza al Albab)

Selasa, 26 Mei 2015

Jejak Langkah ke Relung Kebenaran

Pandanglah pepohonan, amatilahi gerak air sungai, saksikanlah pada langit berawan, burung yang mengangkasa. Amati pula pasangan hidup, anak-anak, rekan kerja dengan pemahaman total. Amatilah bahwa pada apa yang terdengar, bukan hanya ada pendengaran namun di situpun ada pemahaman total. Pada apa yang terlihat, bukan hanya ada penglihatan tetapi juga ada pemahaman utuh. 

Jika saja terdapat rangsangan yang ditangkap oleh indra kemudian direspons secara langsung tanpa sensor pikiran, maka keutuhan indra-hati dan budi akan terbangun sempurna. Memang peran indra begitu sentral dalam melakoni hidup. Darinya pula segala reaksi tubuh terbentuk. Dengannya dunia luar tampak memukau dengan aneka warna lahirnya. Hanya saja itu masih dunia permukaan. Kita ingin keutuhan pemahaman yang universal melampau dunia fenomena. Itu bisa diraih di saat semua indra tidak sibuk memberi penilaian, menolak, memilah, menghakimi mengharuskan, memilah-milah, membanding-bandingkan, membenarkan, menyalahkan, merumuskan, memvisualisasi, berimajinasi, berasosiasi dst. Saat indra luar menjadi diam, tubuh rohani akan menyingkap keindahan di dunia kedalaman

Begitulah untuk menyentuh relung kebenaran, diperlukan hidup dengan penyaksian apa adanya. Indra adalah pintu:  mata, telinga, hidung, lidah, tangan, pikiran, perasaan, sensasi, dan persepsi murni adalah pintu. Tapi cara pandang indra masih menyisakan ruang penyesatan, ketika semua itu bekerja terpisah dari persepsi murni. Jika manusia telah hidup di relung kebenaran, di saat itu manusia menjauh dari konsep, teori, gagasan. Sebagaimana cinta, relung kebenaran mustahil dijangkau gerak emosi, pikiran apalagi indra yang berbatas itu. Bagi yang diberkahi, Ia akan datang dengan sendirinya pada saat batin benar-benar kosong dari segala sesuatu(al-Nafyu). Di saat kekosongan itulah Ia datang dengan wajah-Nya(al-Itsbat), memperdengarkan suara-Nya. Ia terfahami tapi tidak meninggalkan jejak memori. Sehingga Ia tiada sedikitpun terfahami dalam konsep, teori ataupun gagasan

Minggu, 24 Mei 2015

Sejenak Rehat

Suatu ketika seorang Sufi mendatangi seorang tabib dengan wajah yang terlihat sangat ceria. Sama sekali di wajahnya tidak tergambar sesuatu yang memberi tanda jika dirinya sedang menderita suatu penyakit tertentu. Alih-alih mengeluhkan penyakit yang dideritanya, ia malah berkata," Tabib, tubuh saya semuanya dalam keadaan beres."Dengan wajah yang tidak percaya, sang tabib tetap melanjutkan pemeriksaan kepada Sang Sufi untuk tanpa membalas komentar yang dilontarkan Sang Sufi tadi. 

Tidak lama kemudian Tabib itu berseru dengan nada tinggi,"lah, menurut diagnosa saya, penyakit tuan sudah sangat parah dan harus segera ditangani. Tapi mengapa tuan malah mengatakan jika tubuh anda semuanya masih dalam keadaan beres?" Dengan tenang Sang Sufi tadi menjawab,"sebab sakit dan masalah apapun itu merupaka sifat kealamian kehidupan. Adalah lumrah jika sewaktu-waktu tubuh ini sakit."

Sebagaimana lumrahnya hujan yang turun, matahari yang panas, pemanas air yang rusak karena digunakan terus menerus, rumah yang mulai reot, batu yang lapuk, seperti itu pulalah tubuh yang sakit, bencana alam yang menimpa, kematian, kemiskinan dll. Lumrah-lumrah saja jika demikian. Penderitaan terjadi jika seseorang meminta kepada dunia sesuatu yang dunia tidak bisa penuhi: meminta kebahagian tanpa penderitaan, meminta kesehatan tanpa sakit, meminta kesejahteraan tanpa kemiskinan, meminta keadilan tanpa kezaliman. Jika sehat, mesti ada sakit, jika kaya mesti ada miskin, jika damai mesti ada perang, jika adil mesti ada yang dzalim. 

Jika sejenak saja manusia undur dari huru-hara kehidupan, akan ditemukan kesimpulan yang dalam tentang kehidupan. Bahwa tak ada yang salah dengan kehidupan. Lumrah saja dunia seperti yang tengah tejadi saat ini, di masa lalu ataupun di masa yang akan datang. Tugas manusia bukan meminta sesuatu yang dunia tidak bisa penuhi: meminta agar kehidupan sejalan dengan yang dikehendaki. Setelah ikhtiar sempurna, tugas selanjutnya adalah memahami, menerima dan melepaskan. Seperti deburan ombak yang pada akhirnya merunduk pasrah di bibir pantai, seganas apapun itu. Sebagaimana pohon yang bergerak dalam keikhlasan sempurna menuju cahaya matahari. Bahkan sebagian sahabat seperjalanan yang sudah mulai tercerahkan mengatakan, "Jika saja kita yakin bahwa Tuhan melayani manusia tanpa jeda maka apa lagi yang perlu dikhawatirkan dengan masa depan, yang disedihkan darimasa lalu."

Selasa, 19 Mei 2015

Terserap dalam keindahan seks

Tiada hari tanpa kelelahan. Diri ini seperti mesin yang bekerja di tapak yang kaku. Semua dalam perjuangan meraih sesuatu dalam tensi yang tinggi. Entah lelah dalam pegejaran kebutuhan fisik ataupun rohani. Entah di pasar kerja atau di ruang-ruang doa, semua seolah membutuhkan vitalitas dan daya juang di level teratas. Seks lalu menawarkan perjalanan kekinian, sebuah rehat pelepasan yang membahagiakan. Pembebasan dari diri walau hanya beberapa saat saja.

Di balik perburuan manusia terhadap seks, sebagiannya malah berjuang menjauhinya dengan anggapan bahwa seks adalah kekotoran. Mereka lalu berjuang menolak hasrat fitrawi ini dengan latihan yang telaten. Mereka yang menolak hasrat seks sama bodohnya dengan mereka yang mengumbarnya. Tanpa seks orang akan dibayangi kebingungan, depresi, rasa tertekan bahkan terperosok luka psikologis yang dalam. Untuk keluar dari jebakan arus lampau dan masa depan manusia sering lupa menysukuri dan menikmati momen kekinian, seks hadir menawarkan solusi tentang pengalaman kekinian: sebuah pengalaman rohani tentang ketiadaan diri. Sebab sesiapapun yang terserap jadi satu ke dalam kekinian, ia akan menyaksikan keindahan di mana-mana. Tapi mengumbar seks dengan menabrak semua aturan memunculkan kekacauan kosmik dan akan melahirkan anak-pianak berbagai bentuk kekerasan, manipulasi, eksploitasi, dan perendahan martabat

Sekilas, memang aktivitas seks bersifat fisikal, tapi dibalik itu ada keterhubungan emosional dari dua  sang jiwa yang bertransformasi menjadi  tindakan spiritual. Di level tertentu, bahkan bisa beralih ke pemujaan. Dalam hadits nabi s.a.w, tindakan seks kepada pasangan adalah bentuk sedekah dan pernikahan adalah separuh agama. Jadi ia akan menjadi bentuk pemujaan jika diikat oleh tali pernikahan. Dari sinilah muncul institusi yang dinamakan keluarga. Orang menikah kemudian menikmati keintiman itu dalam ikatan perkawinan sebagai wujud ekspresi cinta yang paling indah. Sebuah pemujaan.

Baik makrokosmos ataupun microkosmos, keduanya diciptakan berpasangan. Pertanda ini memberi isyarat hubungan ketergantungan dan saling melengkapi. Artinya, yang lainnya tidak akan sempurna tanpa yang lainnya. Di tingkat microkosmos misalnya, seorang lelaki tidak akan sempurna kecuali dengan perkawinan yang menyempurnakan separuh agamanya: perempuan. Batapa dahsyat kekuatan spiritual yang dimiliki Rasulullah s.a.w. Namun ada saat dimana Rasulullah  membutuhkan kelegaan spiritual dari aroma seorang perempuan. Jika tiba saatnya dimana hijab dari langit dibuka, tubuh beliau berguncang dan menggigil maka saat inilah Rasulullah meraih tangan Aisyah seraya berseru,‖ Berbicaralah padakau wahai Aisyah.‖ 

Di semua tradisi kearifan selalu mengajarkan bahwa Tuhan tidak dapat disaksikan di dalam dirinya secara esensi. Esensi Tuhan di luar semua hal yang pernah disentuh oleh fikiran, pengalaman dan defenisi. Tuhan hanya dapat disaksikan saat Ia mengungkapkan dirinya(tajalli) pada segala sesuatu di ciptaannya. Di antara semua ciptaannya, pada manusialah Tuhan mengungkapkan dirinya secara sempurna.Diantara semua manusia baik laki-laki maupun perempuan,  kata Ibnu Arabi, pada perempuanlah citra Tuhan paling jelas tersaksikan. Oleh karena itu, perkawinan adalah cara penyaksian Tuhan di tingkat tertinggi.

Dalam urusan dunia, dimana keletihan menghampiri maka Rasulullah berseru kepada Bilal,‖Beri kami kelegaan dengan shalat wahai Bilal.‖ 

Tapi kita ingatkan bahwa di balik keintiman, kemesraan dan keakraban seksual, ada tautan ketakutan dan kepedihan menyertainya, disadari atau tanpa disadari. Biasanya sahabat yang belum membangun institusi yang bernama keluarga seringkali membayangkan bahwa seks menjadi satu-satunya pamungkas kebahagian. Orang berfantasi, dalam seks ada kenikmatan, kepuasan dan pelepasan. Ingatkan lagi bahwa mereka akan bertemua kekecewaan pada akhirnya. Saat kehadiran bayi mungil, ia menuntut tanggung jawab dari keseluruhan hidup kedua orang tuanya.

Surat ar-Ruum (30) ayat 21 : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

Al-Waaqi`ah (56) : 58-59 Maka terangkanlah kepadaku tentang nutfah yang kamu pancarkan. Kamukah yang menciptakannya, atau Kamikah yang menciptakannya

Kita ingatkan lagi, tindakan seks akan kehilangan keindahannya jika hanya diperlakukan sebagai alat pemuas kebutuhan biologis dan psikologis belaka. Setiap pasangan itu bisa saja saling memuaskan namun akan bertemu kehampaan bahkan bisa berujung pada perceraian. Seks yang hanya dijadikan alat untuk tujuan tertentu akan melahirkan bentuk-bentuk kekerasan, manipulasi, eksploitasi, perendahan martabat. Itu terjadi baik dalam institusi keluarga terlebih lagi dalam relasi antarpasangan di luar institusi keluarga. 

Dalam Kepasrahan

Perhatikan kepasrahan awan yang memberi hujan ke sungai, sungai  yang menguap ke awan. Manusia yang menggantungkan hidup di tanah, dari tanah ditumbuhkanlah berbagai macam buah untuk manusia. Kepasrahan adalah inti dari pergerakan dunia. Ia menopang kehidupan agar tetap eksis. Gerak ini berlangsung sangat lama jauh sebelum teori kepasrahan itu ditemukan. Ibarat pohon bergerak pasrah menuju cahaya matahari dengan kepasrahan yang sempurna. Tenang sekali. Ibarat bayi yang lahir lalu menghirup udara kehidupan yang
disiapkan semesta. Ia menyerahkan hidupanya pada pergerakan alam dengan kepasrahan yang sempurna. Demikian bayi dan alam semesta bertukar kehidupan melalui nafas yang dihirup dan nafas yang dihembuskan. Indah sekali.

Walaupun kepasrahan seringkali dianggap kekalahan, ketakberdayaan dan sikap negative lainnya. Menyerah di medan pertempuran berarti kekalahan, menyerah di tengah pejuangan dianggap pecundang. Kepasrahan yang didefenisikan sebagai kepuasan atas kondisi kekinian dipandang sebagai sikap negative karena menghambat optimisme untuk melangkah maju. Namun sungguh, kepasrahan tidak seperti yang didefenisikan di atas(kekalahan). Karena justru kemenangan, kekuatan, atau kesolehan bersumber dari kepasrahan. Kepasarahan mengajarkan untuk bersikap lentur pada arus kehidupan. Dengan cara meruntuhkan kedaulatan ego mengendalikan putaran kehidupan. Menerima apa yang disukai, memeluk apa yang dibenci atau enggan menerima apa yang disukai dan tidak menolak apa yang tidak disukai.

Dari sinilah ruang kesadaran tinggi di dalam diri akan melebar jauh. Perhatikan arus sungai yang mengalir lentur melewati celah-celah batu, pada akhirnya ia akan sampai pada yang tak terbatas di samudra luas. Hanya ego yang enggan menerima kenyataan dan mengalir bersama arus kehidupan. Diri yang dibungkus ego seperti kehidupan di dalam cangkang telur. Memang di dalam cangkang telur menghalir kehidupan. Tapi kehidupan sejatinya adalah di luar cangkang. Para pencari kehidupan sejati mengupacayakan  memecahkan cangkang ego untuk mencium wanginya aroma hidup.

Rabu, 22 April 2015

Di sana jua dermaga lahirmu....

Laksana air di gurun pasir
Sejukkan jiwa yang kehausan
Di sepanjang keruh rapuhnya dunia
Ku selalu merindukan belai-Mu
Ku ingin Kau slalu bertahta dalam kalbuku

Sementara ini saya merenungi lagu yang dilantunkan oleh Ada Band. Lagu lama memang tapi begitu sarat makna. Hidup seumpama gurun tandus yang kering kerontang. Air yang terpancar dari sumur galian akan mengubah gurun tandus menjadi oese hijau nan subur. Kata Wilhem Reich, kehidupan manusia dalam keterasingan gurun tandus menyebabkanya membuat semacam mekanisme pertahanan diri. Seperti seorang ksatria yang mengenakan baju zirah di medan tempur: siap melawan. Maka dunia terbakar. Kritikan dilawan dengan kritikan, celaan dilawan dengan celaan, hinaan dibalas dengan merendahkan. Sayangnya, semakin kita melawan maka semakin terluka.

Di gurun tandus, meski kelihatan tak ada tanda kehidupan namun sebenarnya di dalamnya menyimpan banyak sekali benih. Bila letakkan  sebuah wadah berisi air, ada lubang yang membuat air menetes sedikit demi sedikit. Saksikan seminggu kemudian, akan tumbuh tunas hijau. Kehidupan yang kering-kerontang jika disirami dengan air spiritual akan membuatnya perlahan hidup, tumbuh lalu menjadi rindang.

Ada yang mengatakan bahwa perjalanan rohani juga merupakan perlawanan. Hanya saja bentuk perlawanannya lebih mengarah ke pencarian di kedalaman, menemukan air spiritual yang menjadi oase kehidupan. Sementara perlawanan yang kebanyakan lebih mengarah ke pencarian ke luar. Ada yang mencarinya di diskotik, buku-buku ilmiah, atau di tempat-tempat tamasya. Sebagian mereka mengaku menemukan sebuah kehidupan, tapi tanpa sadar jika mereka sesungguhnya memandangnya dalam mata ilusi. Perjalan ke dalam, bukan membuat luka tapi justru menyembuhkan luka. Mereka yang tekun melakukan penggalian akan bertemu wajah dalam keheningan tanpa kemarahan, tanpa dengki, tanpa penyakit hati lainnya.

Tasawuf mengajari untuk melakukan perjalanan secara terbalik: Muara ke hulu. Penggalian yang berseberangan dengan kebanyakan. Sehingga siapapun yang mencoba mendayung perahu batin ke hulu akan merasakan keganjilan, bahkan kesulitan. Menemukan rumah ibadah di sana yang dibangun oleh tangan Tuhan lebih sulit dari sekadar merapatkan kening di rumah ibadah yang dibangun oleh tangan manusia. Orang yang menemukan rumah ibadah di kedalaman, mereka tidak sekadar mempersimpuhkan raga yang ditandai dengan rapatnya kening di tanah, tapi lebih dalam dari itu: Bersimpuhnya kehidupan di hadapan  Zat Yang Maha Agung, dengan keindahan. Seperti lirik syair Ada Band berikut ini:

Kemana kapalmu kan berlabuh
Disana juga kau bermuara
Kemanapun hidupmu kau arahkan
Disanalah dermaga akhirmu
Yakinlah Dia bersemayam dalam hatimu

Dibutuhkan kesabaran untuk menggali ke dalam. Serupa penggali sumur,  butuh beberapa meter di kedalaman untuk mendapatkan air yang menyembur keluar. Rehat sejenak boleh, demi menghimpun tenaga. Rehat terlalu lama akan beresiko, menjadikan lubang galian tertimbun tanah lagi. Ketika percik cahaya agung mengenai batin, akan terlihat semesta diterangi cahaya, tanpa ampun. Jika para petani mengubah gurun menjadi lahan pertanian subur dengan cara mengairinya, maka para kekasih Tuhan mengubah kehidupan yang kering kerontang dengan air spiritual. Yang sampai di sini akan dapat bernyanyi seperti yang dilantunkan Ada Band:

Kau hadir di setiap hela nafasku
Hangat alirkan butiran darahku
Betapa suci dan agung cintaMu
Tak sanggup nalarku memikirkanMu
Ku ingin Kau selalu bertahta dalam bathinku

Bimbinglah aku dalam pelukanMu
Jangan lepaskan lagi
Izinkanlah malaikat menjagaku dari kelamnya nafsu dunia
Bawalah aku ke jalan cahaya terang kerajaanMu
Jadikan mimpiku jelas sempurna menyatu dalam istana surga

Minggu, 19 April 2015

Indonesia, sepenggal Saba'

Penulis pernah dikarantina di salahsatu lembaga al-Quran yang dibimbing oleh salah seorang Syekh dari Sudan bernama Syekh Abdullah Karamallah. Kami berjumlah kurang lebih 25 orang dari seluruh Indonesia tinggal di sebuah pondokan selama beberapa puluh hari untuk menyelesaikan hapalan al-Quran. Menjelang masa Haflah, sebagai bentuk refreshing kepada seluruh peserta, mereka diajak berlibur ke beberapa tempat termasuk Malino.

Kita bercerita tentang Malino. Penulis menjadikan Malino di sini sebagai ikon Indonesia secara keseluruhan. Bukan karena penulis memang tinggal di Makassar, akan tetapi akan adanya cerita yang akan terbangun yang kelak menjadi ibrah bagi kita semua.

Malino Kota Bunga, Sulawesi Selatan. Terletak di sebelah tenggara Kota Makassar. Berada di ketinggian 1.500 meter dari permukaanlaut. Asbab ketinggiannya inilah maka hawanya terasa sejuk dan selalu diselimuti kabut. Malino merupakan lereng sebelah barat Gunung Bawakaraeng, tepatnya di Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

Sepanjang perjalanan akan disuguhi dengan aneka keindahan alam. Ada bendungan Bili-Biliyang sangat luas mengalirkan air ke jutaan hektar sawah dan kebun, ada lembah,  dan lapisan bukit hijau terhampar di depan mata. Perjalanan memakan waktu sekitar dua jam dengan jarak sekitar 90 km dari Makassar. Jalan yang menanjaki pegunungan, melewati jalan yang berkelok-kelok, dan melintasi lembah-lembah dan jurang yang terjal menambah nikmat perjalanan. Semakin mendektai Malino, hawa semakin sejuk dan tanjakan semakin tajam. Suara lantunan ayat suci al-Quran menemani kami sepanjang perjalanan. Jadilah perjalanan ini seperti memasuki sebuah lorong-lorong surgawi. Memang hapalan al-Quran sebagian sahabat-sahabat masih terasa fresh karena karantina masih sementara berlangsung. Sesekali Muhaffidz  menegur jika ada bacaan yang salah atau kurang pas pengucapan hurufnya.

Sebelum benar-benar tiba di Malino, kita terlebih dahulu menemukan hutan pinus  yang berdiri rapih membawa nuansa keteduhan. Memang sejak dahulu, Malino dikenal sebagai kawasan rekreasi. Sebuah tembok prasasti di tepi jalan tertulis “Malino 1927”. Prasasti ini mengacu pada aktivitas Gubernur Caron yang memerintah di "Celebes en Onderhoorigheden yang pada tahun tersebut menyulap Malino sebagai tempat peristirahatan. Bukan hanya ukiran sejarah Belanda berada di situ, terdapat juga lubang-lubang penghadangan (bunker) yang merupakan peninggalan penjajah Jepang yang kini banyak dikunjungi wisatawan, baik lokal maupun mancanegara.

“Malino 1927” tidak  berarti bahwa Malino baru dikuasai Belanda pada tahun tersebut. Faktanya, jauh sebelumnya itu Belanda sudahberkuasa di wilayah Kerajaan Gowa. Pasca Perjanjian Bungaya 18 November 1667 yang ditandatangani antara Kesultanan Gowa yang diwakili oleh Sultan Hasanuddin dan dari pihak Hindia Belanda yang diwakili oleh Laksamana Cornelis Speelman. Walaupun disebut sebagai perjanjian perdamaian, tapi sebetulnya dekrasi itu menanda kekalahan Gowa dari VOC serta pengesahan monopoli oleh VOC untuk perdagangan sejumlah barang di pelabuhan Makassar (yang dikuasai Gowa). Di Malino juga pernah diadakan Konferensi Malino yang dilaksanakan pada 15-25 Juli 1946, diprakarsai oleh Gubernur Jenderal Dr HJ van Mook, untuk membicarakan dan menggagas pendirian Negara Indonesia Timur (NIT). Juga pernah dilaksanakan, perjanjian perdamaian Malino I dan Malino 2 yang diprakarsai oleh HM JusufKalla. Bagi penulis, 1927 itu bermakna lain. Apabila dibalik maka akan menjadi 2719, 27:19. Di dalam al-Quran surah 27 itu adalah al-Naml yang berarti semut. Sebuah symbol untuk Nabi Sulaiman yang diceritakan oleh Allah bersama Ratu Bilqis dari negeri Saba. Tentang Saba akan dijelaskan lebih lanjut. Dan ayat 19 dari surah al-Naml berbunyi:

فَتَبَسَّمَ ضَاحِكاً مِّن قَوْلِهَا وَقَالَرَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّوَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحاً تَرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ-١٩-
Maka dia (Sulaiman) tersenyum lalutertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa, “Ya Tuhan-ku,anugerahkanlah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah EngkauAnugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku mengerjakankebajikan yang Engkau Ridai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalamgolongan hamba- hamba-Mu yang saleh.”


Adalah hamparan kebun teh dan hutan pinus  yang ditingkahi dengan bunyi fauna burung nuri, burung jalak, burung gelatik dan kera hitam berloncatan sebagai bahasa sambutan kepada setiap pengunjung yang datang di kawasan ini. Ada berbagai jenis bunga yang menghampar sepanjang jalan: Bunga Akasia, Edelweis, Kenanga dan beberapa jenis Perdu. Hasil penelitian sebuah lembaga asal Belanda menyatakan bahwa sekitar 60 persen bunga yang tumbuh di Belanda juga terdapat di kawasan Malinodan sekitarnya. Inilah sebabnya Malino juga dikenal sebagai kota bunga.

Sedikit ke daerah atas terlihat dengan jelas hamparan sayur-mayur yang menghijau. Di daerah Kanreapia, yakni 8 km ke arah timur Malino, kita bisa menjumpai kebun-kebun holtikultura milik warga setempat yang berjajal rapi. Tanaman hortikultura seperti kol, vetsai, bawang prei, kentang dan tomat, digarap olehpara petani desa setempat. Juga perkebunan Markisa yang terkenal menghasilkan buah markisa yang manis khas yang dapat diperoleh di pasar-pasar tradisonal di Malino. Sementara itu jika kita ke daerah Pattapang, terdapat perkebunan teh milik Nittoh asal jepang yang juga menjadi salah satu objek wisata Malino yang digemari karena hamparan hijaunya yang cantik dan memukau.

Ah indah sekali. Suara lantunan al-Quran yang kami lakukan secara bergantian di dalam mobil Kijang Inova yang kami tumpangi masih menggema terus. Hingga ketika sampai di surah Saba:5, penulis merenung. Entah kenapa tiba-tiba perjalanan ini serasa seperti menelusuri Negeri Saba zaman dahulu sebelum ditimpa banjir besar yang meruntuhkan bendungan Maarib. Sebagaimana yang digambarkan al-Quran

 لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ جَنَّتَانِ عَن يَمِينٍ وَشِمَالٍكُلُوا مِن رِّزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ-١٥-
Sungguh,bagi kaum Saba’ ada tanda (kebesaran Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu duabuah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri (kepada mereka dikatakan),“Makanlah olehmu dari rezeki yang (Dianugerahkan) Tuhan-mu dan bersyukurlahkepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik (nyaman) sedang (Tuhan-mu)adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.”

Penulis mengasosiasikan bahwa bendungan Bili-Bili ini adalah bendungan Ma’rib di zaman dahulu. Sebagaimana Bendungan Ma’rib, Bendungan Bili-bili juga merupakan bendungan terbesar di Sulawesi Selatan yang terletak di Kabupaten  Gowa, sekitar 30 kilometer ke arah Timur Kota Makasar menujuarah hulu pertemuan Sungai Jene berang dan Sungai Jenelata. Bendungan dengan waduk seluas 40.428 ha dibangun dengan tipe urugan batu, tinggi bendungan utamanya 73 m. Luas daerah tangkapan waduk sebesar 384,40 km2 dengan kapasitas tampungan 375 juta m3 cukup untuk mensuplai air ke berbagai daerah Makassar dan sekitarnya. Sungai yang panjangnya mencapai 75 km dan luas daerah Aliran Sungai  727 Km2 ini bersumber dari Gunung Bawakaraeng pada elevasi +2.833,00 MSL.

Selain sebagai irigasi, bendungan ini juga berfungsi sebagai PLTA dengan kapasitas 16,3 Meter. Bendungan ini pun  sukses mengendalikan banjir Sungai Jeneberang dari debit 2.200 meter kubik per detik menjadi 1.200 meter kubik per detik. Dengan gambaran kekuatan Bendungan Bili-Bili ini, selain untuk mensejahterahkan penduduk, maka itu sudah cukup untuk menenggelamkan seluruh Kota Makassar dan Sekitarnya jika sampai jebol. Sebagaimana yang  pernah terjadi pada tahun 1975. Waktu itu hujan lebat terjadi antara Desember dan Januari yang mengakibatkan meluapnya sungai di hilir jembatan Sungguminasa 2/3 kota Ujung Pandang (Makassar)tergenang. Bukan tidak mungkin ini terulang, bahkan berpotensi lebih dahsyat dari semula.

فَأَعْرَضُوا فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ سَيْلَ الْعَرِمِ وَبَدَّلْنَاهُمبِجَنَّتَيْهِمْ جَنَّتَيْنِ ذَوَاتَى أُكُلٍ خَمْطٍ وَأَثْلٍ وَشَيْءٍ مِّنسِدْرٍ قَلِيلٍ -١٦-

Tetapimereka berpaling, maka Kami Kirim kepada mereka banjir yang besar  dan Kami Ganti kedua kebun mereka dengan duakebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl (sejenispohon cemara)dan sedikit pohon Sidr (sejenis pohon bidara)

Dalam sejarah,  kemakmuran negeri yang beribukota di Ma'rib sangat terkenal. Menjadi sebuah negeri yang termodern sekaligus tesubur di zamannya.  Dalam tafisr al-Thobari disebutkan bahwa Qatadah dan Abdurrahman bin Zaid rahimahumallah mengisahkan tentang negeri Saba ini,  bahwa apabila ada seseorang yang masuk ke sebuah kebun dengan membawa keranjang di atas kepalanya, ketika keluar dari kebun itu keranjang tersebut akan penuh dengan buah-buahan tanpa harus memetik buah tersebut. Informasi ini menggambarkan betapa suburnya kebun-kebun di negeri Saba. Unikanya lagi, sebagaimana oleh Abdurrahman bin Zaid menambahkan, di sana bahkan tidak ditemukan nyamuk, lalat, serangga, kalajengking, dan ular.
 Berkat letak geografisnya yang berdekatan dengan Sungai Adhanah, dimana terjadi pertemuan dengan Gunung Balaq. Oleh karena itulah sangatlah tepat jika di situ dibangun sebuah bendungan  raksasa yang bernama Bendungan Ma’rib dengan menggunakan tekhnologi yang sangat maju.

Ketinggiandari Bendungan Ma'rib mencapai 16 meter, lebar 60 meter dengan panjang 620 meter. Berdasarkan perhitungan, total wilayah yang dapat diari oleh bendunganini adalah 9.600 hektar, dengan 5.300 hektar termasuk dataran bagian selatan bendungan dan sisanya termasuk dataran sebelah barat seluas 4.300 hektar. Duadataran ini dihubungkan sebagai " Ma'rib dan dua dataran tanah " sebagaimanadisebutkan dalam prasasti Saba.Sebutan ini sama dengan جَنَّتَانِعَن يَمِينٍ وَشِمَالٍ   dalam bahasa al-Qur'annya sebagaimana yang disebutkan di atas.

Dari bedunganbesar inilah peradaban kemudian dibangun. Adalah tanah yang subur dan penguasaan mereka atas jalur perdagangan menjadikan mereka memiliki gaya hidup yang mewah. Karena keadaan negeri yang menghijau inilah sampai-sampai penulis Yunani bernama Pliny yang telah mengunjungi daerah ini memu-mujinya saking takjubnya.

Akan tetapi,sebagaimana di ayat yang di atas, terjadi Banjir Arim yang menyebabkan kerusakan yang hebat. Walaupun pada abad abad 5 dan 6 M bendungan ini dilakukan perbaikan besar-besaran. Namun  hal itu  tidak mampu mencegah keruntuhan bendungan ini tahun 542 AD. Ketika banjir datang, kebun-kebun anggur, ladang-ladang pertanian dari kaum Saba yang telah mereka panen selama ratusan tahun menghilang secara menyeluruh. Dan seluruhseluruh negeri digenangi air. Runtuhnya Bendungan Ma’rib ini menandaiberakhirnya pula peradaban Saba.

Ah, sudahterlalu jauh penulis membawa pembaca dalam imajinasi yang tak berkesudahan ini. Satu yang pasti, penulis ingin mensebandingkan antara Saba dan Malino ini untuk pelajaran yang berharga. Bahwa, sebagian kecil Indonesia sebetulnya sudah cukup memadai membangun peradaban yang besar sebagaimana yang tertera dalam sejarah bangsa-bangsa terdahulu. Jika disebandingkan antara Bendungan Ma’rib dan Bendungan Bili-Bili, maka sepertinya tidak jauh beda. Tapi mengapa menghasilkan hal yangberbeda?

Terakhir, dengan Bahasa Arab yang pas-pasan, penulis mendengar bagaimana Syekh Karamallah yang berasal dari Sudan itu memuji bentangan Alam Malino dengan berseru,” Hadzihil Jannah.” Ini adalah Surga…Indonesia adalah Surga itu, serpihan Negeri Saba'

Sabtu, 11 April 2015

Cermin Jiwa




Pada awalnya kau melakukan dzikrullah, 
kemudian dzikrullah yang melakukan dirimu,
dan akhirnya hanya ada dzikrullah.

Dzikir memiliki mekanisme dan daya hidup tersendiri. Sejatinya ia memoles hati menjadi cermin bening yang dapat memantulkan cahaya Tuhan.

Di dalam Matsnawi, Jalaluddin Rumi bercerita. Sebuah kompetisi seni digelar di Istana. Menghadirkan dua seniman terhebat sebagai finalis. Yang satu dari Cina satunya lagi dari Yunani. Tantangan diberikan kepada masing-masing seniman hebat itu. Masing-masing diberikan satu dinding istana yang saling berhadapan. Mereka dibebaskan untuk membuat karya apa saja di dinding itu.

Tirai dipasang untuk menghalangi mereka berdua untuk saling melihat karya sebelum benar-benar selesai. Mulailah seniman dari cina memenuhi dinding itu dengan lukisan yang rumit. Berbahan dari dedaunan emas, bebatuan permata dan cat air termahal di dunia. Sebaliknya, seniman dari Yunani malah hanya meminta amplas dan batu apung serta alat-alat sederhana lainnya untuk digunakan menghaluskan.
Setelah waktu yang ditentukan sudah selesai, Sang Raja pun datang untuk memberikan penilaian hasil karya kedua seniman itu. Sebuah maha karya diciptakan oleh seniman dari Cina. Lukisan ditembok itu sangat mempesona. Batu, tanah, air hewan dan dedaunan terlihat sangat hidup. Menakjubkan bagi mata yang memandangnya. Sang raja bergumam tanda kagum. Belum pernah sekalipun ia melihat karya seni seperti itu.

Setelah selesai, sang Raja pun berpindah ke seniman Yunani. Tirai yaag menutupi dinding diangkat. Ternyata seniman yang satu ini tidak menggambar apa-apa. Ia hanya memoles dinding itu sampai halus mengkilat. Cahaya yang memenuhi ruangan itu membuat dinding itu memantulkan secara sempurna gambar yang ada di depannya. Gambar yang dibuat oleh seniman dari Cina terlihat jelas di dinding milik seniman Yunani, bahkan lebih indah.

Begitulah kisahnya. Rumi ingin mengatakan bahwa cermin hati yang bersih akan memantulkan kehadiran Tuhan. Seagaimana danau yang tenang, akan memantulkan purnama yang indah. Keheningan jiwa akan mengantar pemiliknya melihat realitas yang lebih luas. Itulah jiwa yang teralihkan dari beban masa lampau dan harapan yang akan datang. Jiwa yang mengubur beban prasangka dan kebencian kepada orang lain karena pandangannya hatinya selalu melihat Tuhan kepada siapapun yang dijumpainya.

Guru-guru sufi selalu mengingatkan untuk tunduk hormat kepada yang lebih tua karena mereka sudah memiliki waktu yang sangat panjang untuk berinteraksi dengan Tuhan dan melayani sesama. Tapi juga tunduk hormat kepada yang lebih muda karena tidak memiliki waktu yang panjang untuk berdosa. Diakui bahwa ada nafsu yang bersikukuh untuk menganggap dirinya lebih baik dan selalu berpikir sebaliknya sebaliknya:”usianya tidak setua aku jadi mereka tidak sealim dan secerdas aku. Usianya lebih tua dariku, ia pasti sudah banyak melakukan dosa.”

Pandangan hati yang selalu memantulkan citra Tuhan kepada siapa dan apapun akan membimbing manusia untuk selalu tunduk pada kehidupan. Semakin dalam citra Tuhan di kedalaman hatinya maka semakin hening jiwanya. Menjadi lafaz zikir yang tidak berputus. Para tetua kita dulu sering mengistilahkannya dengan: Zikir yang berkesinambungan, Wudhu yang tidak pernah batal.

Relasi dzikir seperti ini bisa dibangun dengan sangat sempurna. Seluruh kehendak dibangun atas dasar mengingat. Seperti membimbing lidah jiwa untuk melafaz dzikir. Setelah itu, bayi jiwa yang sudah dewasa akan melafaz sendiri tanpa perlu bimbingan. Setelah itu yang terlihat hanyalah dzikir dimana-mana. Tuhan hadir di setipa kehidupan.

Kamis, 05 Maret 2015

Pulang...



(Ditulis ketika lebaran Idul Adha)

Perhatikan katak yang kerjanya lompat ke sana kemari. Ia disimbolkan sebagai makhluk yang terus mencari. Hasilnya, tetap saja ia tidak menemukan madu.

Manusia begitu, mencari dengan melompat ke sana kemari. Selalu saja ada yang kurang, tapi tidak mengetahui apa yang kurang itu. Hidup dalam kebingungan seperti ini membuat manusia tidak pernah berhenti untuk terus mencari. Dan di antara sekian banyak yang dicari, rumah rehat  batinlah yang paling banyak menguras energi. Ia serupa madu kehidupan yang manis sekaligus obat.

Yang tersesat jalannya hanya akan kembali ke pangkuan harta, kekuasaan, wanita yang bahkan membuat semakin dahaga. Banyak yang sudah bertengger di atas harta yang berlimpah namun korupsi lalu menghabiskan hidupnya di penjara. Ada pula yang telah menggapai kedudukan tinggi dengan jabatan yang disanjung banyak orang terpaksa harus mengakhiri hidupnya di rumah sakit jiwa. Yang berumah tangga seringkali berakhir dengan perceraian dengan bermacam-macam gonjang ganjingnya. Sebagai akibatnya, perjalanan kehidupan seperti menggali sumur tanpa dasar. Menggali, menggali dan menggali, tapi sepanjang perjalanan tetap penuh dengan kegelapan.Tidak ada tanda-tanda cahaya di sana.

Lebaran dan pulang, serupa hijaunya bukit takkan terpisah dengan bukitnya. Sama tidak  mungkinnya memisahkan lebaran dengan pulang ke kampung halaman. Lebaran mengajarkankan kita untuk berhenti meloncat. Pulanglah ke rumah sesungguhnya. Sebagaimana pulang kampung yang selalu menyisakan rindu dan keteduhan.

Jika katak disimbolkan sebagai makhluk pencari namun tidak ketemu, maka kupu-kupu adalah simbol mahluk indah yang bertemu dengan madu kehidupan. Tanpa harus melocat, kupu-kupu langsung terbang menuju titik pusatnya bunga. Bertemu dengan madu sesungguhnya.

Berteduh di rumah batin

Entah dari mana asal usul budaya pulang ini, yang pasti lebaran berperan sebagai guru simbolik yang membimbing manusia menuju pencerahan. Pergulatan dengan waktu selalu ditandai dengan ketegangan demi ketegangan. Hawa dunia terasa terbakar dengan berbagai macam kemarahan, umpatan, perkelahian dan pembunuhan. Yang mulai berhenti mencari lalu belajar mendengarkan suara batin, ada kerinduan di sana. Ada suara yang memanggil-manggil untuk kembali kepangkuan kehidupan teduh. Sebuah rumah memancarkan aroma kedamaian.

Roda kehidupan membentuk lingkaran kehidupan: malam-siang, gagal-sukses,dicaci-dipuji, kaya-miskin, sakit-sehat. Lingkaran kehidupan ini sesungguhnya telah diikat oleh hukum ketidakkekalan. Semuanya datang dan pergi secara bergiliran. Sangat sederhana, sesederhana hujan yang harus turun jika musim hujan, sesederhana kemarau yang mesti datang di musim kemarau. Semuanya berputar di lingkaran itu. 

Di pinggir lingkaran, manusia menanggapinya dengan penuh keguncangan. Padahal di pusat lingkaran, takkan dipengaruhi oleh keadaan. Al-Quran menggambarkan orang seperti ini dalam surah al-Hadid: “Tidak bersedih hati dengan apa yang hilang dan tidak bergembira dengan apa yang ditemukan.” Kondisi hati yang benar-benar tidak terikat dengan keadaan. Jika saja kita ingin sedikit berjalan menuju pusat lingkaran, di sanalah madunya kehidupan. Dan rasa syukur dan ikhlas adalah kekuatan yang bisa menghantar menuju titik pusat lingkaran. Para sufi sering menyebut kondisi ini sebagai kondisi bersahabat dengan kehidupan.

Mari pulang marilah pulang
Pulanglah kita bersama-sama