Pages

Minggu, 31 Mei 2015

Tentang Kegetiran

Seperti mencintai kekasih, dan sebutlah namanya dengan syahdu. Ada getir halus yang merongrong jiwa, semakin disebut terasa kuat dorongan itu. Getir yang indah. Tiba-tiba semuanya jadi pelangi. Merekah tanpa pernah hujan, tanpa rintik tapi mencipta sinar. Namanya adalah keajaiban. Memenuhi panggilannya adalah pekerjaan paling menyenangkan.

Tapi seperti itukah imanmu? Yaitu ketika disebut nama Allah maka bergetarlah hatinya, dan ketika dibacakan ayat-ayatnya bertambahlah imannya...(al- Anfaal:2) Panggil namanya, sekali lagi. "ALLAH..." adakah getaran? Jika tidak, berarti ada dusta antara iman dan ibadah.

Suatu ketika orang Arab Badui datang menemui Rasulullah. Orang Arab Badui itu berkata:"Kami telah beriman." Katakanlah Muhammad: Kalian belum beriman, kalian  baru taat, karena iman belum merasuk ke dalam hatimu"(al- Hujarat:14)

***

Demi menjawab kegelisaha ini, penulis mendapati nasihat Imam Ahmad bin Hambal: "Anakku, kamu harus duduk bersama orang-orang sufi, karena mereka adalah mata air ilmu dan mereka selalu mengingat Allah dalam hati mereka. Mereka adalah orang-orang zuhud yang memiliki kekuatan spiritual yang tertinggi. Aku tidak melihat orang yang lebih baik dari mereka" (Ghiza al Albab)

Selasa, 26 Mei 2015

Jejak Langkah ke Relung Kebenaran

Pandanglah pepohonan, amatilahi gerak air sungai, saksikanlah pada langit berawan, burung yang mengangkasa. Amati pula pasangan hidup, anak-anak, rekan kerja dengan pemahaman total. Amatilah bahwa pada apa yang terdengar, bukan hanya ada pendengaran namun di situpun ada pemahaman total. Pada apa yang terlihat, bukan hanya ada penglihatan tetapi juga ada pemahaman utuh. 

Jika saja terdapat rangsangan yang ditangkap oleh indra kemudian direspons secara langsung tanpa sensor pikiran, maka keutuhan indra-hati dan budi akan terbangun sempurna. Memang peran indra begitu sentral dalam melakoni hidup. Darinya pula segala reaksi tubuh terbentuk. Dengannya dunia luar tampak memukau dengan aneka warna lahirnya. Hanya saja itu masih dunia permukaan. Kita ingin keutuhan pemahaman yang universal melampau dunia fenomena. Itu bisa diraih di saat semua indra tidak sibuk memberi penilaian, menolak, memilah, menghakimi mengharuskan, memilah-milah, membanding-bandingkan, membenarkan, menyalahkan, merumuskan, memvisualisasi, berimajinasi, berasosiasi dst. Saat indra luar menjadi diam, tubuh rohani akan menyingkap keindahan di dunia kedalaman

Begitulah untuk menyentuh relung kebenaran, diperlukan hidup dengan penyaksian apa adanya. Indra adalah pintu:  mata, telinga, hidung, lidah, tangan, pikiran, perasaan, sensasi, dan persepsi murni adalah pintu. Tapi cara pandang indra masih menyisakan ruang penyesatan, ketika semua itu bekerja terpisah dari persepsi murni. Jika manusia telah hidup di relung kebenaran, di saat itu manusia menjauh dari konsep, teori, gagasan. Sebagaimana cinta, relung kebenaran mustahil dijangkau gerak emosi, pikiran apalagi indra yang berbatas itu. Bagi yang diberkahi, Ia akan datang dengan sendirinya pada saat batin benar-benar kosong dari segala sesuatu(al-Nafyu). Di saat kekosongan itulah Ia datang dengan wajah-Nya(al-Itsbat), memperdengarkan suara-Nya. Ia terfahami tapi tidak meninggalkan jejak memori. Sehingga Ia tiada sedikitpun terfahami dalam konsep, teori ataupun gagasan

Minggu, 24 Mei 2015

Sejenak Rehat

Suatu ketika seorang Sufi mendatangi seorang tabib dengan wajah yang terlihat sangat ceria. Sama sekali di wajahnya tidak tergambar sesuatu yang memberi tanda jika dirinya sedang menderita suatu penyakit tertentu. Alih-alih mengeluhkan penyakit yang dideritanya, ia malah berkata," Tabib, tubuh saya semuanya dalam keadaan beres."Dengan wajah yang tidak percaya, sang tabib tetap melanjutkan pemeriksaan kepada Sang Sufi untuk tanpa membalas komentar yang dilontarkan Sang Sufi tadi. 

Tidak lama kemudian Tabib itu berseru dengan nada tinggi,"lah, menurut diagnosa saya, penyakit tuan sudah sangat parah dan harus segera ditangani. Tapi mengapa tuan malah mengatakan jika tubuh anda semuanya masih dalam keadaan beres?" Dengan tenang Sang Sufi tadi menjawab,"sebab sakit dan masalah apapun itu merupaka sifat kealamian kehidupan. Adalah lumrah jika sewaktu-waktu tubuh ini sakit."

Sebagaimana lumrahnya hujan yang turun, matahari yang panas, pemanas air yang rusak karena digunakan terus menerus, rumah yang mulai reot, batu yang lapuk, seperti itu pulalah tubuh yang sakit, bencana alam yang menimpa, kematian, kemiskinan dll. Lumrah-lumrah saja jika demikian. Penderitaan terjadi jika seseorang meminta kepada dunia sesuatu yang dunia tidak bisa penuhi: meminta kebahagian tanpa penderitaan, meminta kesehatan tanpa sakit, meminta kesejahteraan tanpa kemiskinan, meminta keadilan tanpa kezaliman. Jika sehat, mesti ada sakit, jika kaya mesti ada miskin, jika damai mesti ada perang, jika adil mesti ada yang dzalim. 

Jika sejenak saja manusia undur dari huru-hara kehidupan, akan ditemukan kesimpulan yang dalam tentang kehidupan. Bahwa tak ada yang salah dengan kehidupan. Lumrah saja dunia seperti yang tengah tejadi saat ini, di masa lalu ataupun di masa yang akan datang. Tugas manusia bukan meminta sesuatu yang dunia tidak bisa penuhi: meminta agar kehidupan sejalan dengan yang dikehendaki. Setelah ikhtiar sempurna, tugas selanjutnya adalah memahami, menerima dan melepaskan. Seperti deburan ombak yang pada akhirnya merunduk pasrah di bibir pantai, seganas apapun itu. Sebagaimana pohon yang bergerak dalam keikhlasan sempurna menuju cahaya matahari. Bahkan sebagian sahabat seperjalanan yang sudah mulai tercerahkan mengatakan, "Jika saja kita yakin bahwa Tuhan melayani manusia tanpa jeda maka apa lagi yang perlu dikhawatirkan dengan masa depan, yang disedihkan darimasa lalu."

Selasa, 19 Mei 2015

Terserap dalam keindahan seks

Tiada hari tanpa kelelahan. Diri ini seperti mesin yang bekerja di tapak yang kaku. Semua dalam perjuangan meraih sesuatu dalam tensi yang tinggi. Entah lelah dalam pegejaran kebutuhan fisik ataupun rohani. Entah di pasar kerja atau di ruang-ruang doa, semua seolah membutuhkan vitalitas dan daya juang di level teratas. Seks lalu menawarkan perjalanan kekinian, sebuah rehat pelepasan yang membahagiakan. Pembebasan dari diri walau hanya beberapa saat saja.

Di balik perburuan manusia terhadap seks, sebagiannya malah berjuang menjauhinya dengan anggapan bahwa seks adalah kekotoran. Mereka lalu berjuang menolak hasrat fitrawi ini dengan latihan yang telaten. Mereka yang menolak hasrat seks sama bodohnya dengan mereka yang mengumbarnya. Tanpa seks orang akan dibayangi kebingungan, depresi, rasa tertekan bahkan terperosok luka psikologis yang dalam. Untuk keluar dari jebakan arus lampau dan masa depan manusia sering lupa menysukuri dan menikmati momen kekinian, seks hadir menawarkan solusi tentang pengalaman kekinian: sebuah pengalaman rohani tentang ketiadaan diri. Sebab sesiapapun yang terserap jadi satu ke dalam kekinian, ia akan menyaksikan keindahan di mana-mana. Tapi mengumbar seks dengan menabrak semua aturan memunculkan kekacauan kosmik dan akan melahirkan anak-pianak berbagai bentuk kekerasan, manipulasi, eksploitasi, dan perendahan martabat

Sekilas, memang aktivitas seks bersifat fisikal, tapi dibalik itu ada keterhubungan emosional dari dua  sang jiwa yang bertransformasi menjadi  tindakan spiritual. Di level tertentu, bahkan bisa beralih ke pemujaan. Dalam hadits nabi s.a.w, tindakan seks kepada pasangan adalah bentuk sedekah dan pernikahan adalah separuh agama. Jadi ia akan menjadi bentuk pemujaan jika diikat oleh tali pernikahan. Dari sinilah muncul institusi yang dinamakan keluarga. Orang menikah kemudian menikmati keintiman itu dalam ikatan perkawinan sebagai wujud ekspresi cinta yang paling indah. Sebuah pemujaan.

Baik makrokosmos ataupun microkosmos, keduanya diciptakan berpasangan. Pertanda ini memberi isyarat hubungan ketergantungan dan saling melengkapi. Artinya, yang lainnya tidak akan sempurna tanpa yang lainnya. Di tingkat microkosmos misalnya, seorang lelaki tidak akan sempurna kecuali dengan perkawinan yang menyempurnakan separuh agamanya: perempuan. Batapa dahsyat kekuatan spiritual yang dimiliki Rasulullah s.a.w. Namun ada saat dimana Rasulullah  membutuhkan kelegaan spiritual dari aroma seorang perempuan. Jika tiba saatnya dimana hijab dari langit dibuka, tubuh beliau berguncang dan menggigil maka saat inilah Rasulullah meraih tangan Aisyah seraya berseru,‖ Berbicaralah padakau wahai Aisyah.‖ 

Di semua tradisi kearifan selalu mengajarkan bahwa Tuhan tidak dapat disaksikan di dalam dirinya secara esensi. Esensi Tuhan di luar semua hal yang pernah disentuh oleh fikiran, pengalaman dan defenisi. Tuhan hanya dapat disaksikan saat Ia mengungkapkan dirinya(tajalli) pada segala sesuatu di ciptaannya. Di antara semua ciptaannya, pada manusialah Tuhan mengungkapkan dirinya secara sempurna.Diantara semua manusia baik laki-laki maupun perempuan,  kata Ibnu Arabi, pada perempuanlah citra Tuhan paling jelas tersaksikan. Oleh karena itu, perkawinan adalah cara penyaksian Tuhan di tingkat tertinggi.

Dalam urusan dunia, dimana keletihan menghampiri maka Rasulullah berseru kepada Bilal,‖Beri kami kelegaan dengan shalat wahai Bilal.‖ 

Tapi kita ingatkan bahwa di balik keintiman, kemesraan dan keakraban seksual, ada tautan ketakutan dan kepedihan menyertainya, disadari atau tanpa disadari. Biasanya sahabat yang belum membangun institusi yang bernama keluarga seringkali membayangkan bahwa seks menjadi satu-satunya pamungkas kebahagian. Orang berfantasi, dalam seks ada kenikmatan, kepuasan dan pelepasan. Ingatkan lagi bahwa mereka akan bertemua kekecewaan pada akhirnya. Saat kehadiran bayi mungil, ia menuntut tanggung jawab dari keseluruhan hidup kedua orang tuanya.

Surat ar-Ruum (30) ayat 21 : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

Al-Waaqi`ah (56) : 58-59 Maka terangkanlah kepadaku tentang nutfah yang kamu pancarkan. Kamukah yang menciptakannya, atau Kamikah yang menciptakannya

Kita ingatkan lagi, tindakan seks akan kehilangan keindahannya jika hanya diperlakukan sebagai alat pemuas kebutuhan biologis dan psikologis belaka. Setiap pasangan itu bisa saja saling memuaskan namun akan bertemu kehampaan bahkan bisa berujung pada perceraian. Seks yang hanya dijadikan alat untuk tujuan tertentu akan melahirkan bentuk-bentuk kekerasan, manipulasi, eksploitasi, perendahan martabat. Itu terjadi baik dalam institusi keluarga terlebih lagi dalam relasi antarpasangan di luar institusi keluarga. 

Dalam Kepasrahan

Perhatikan kepasrahan awan yang memberi hujan ke sungai, sungai  yang menguap ke awan. Manusia yang menggantungkan hidup di tanah, dari tanah ditumbuhkanlah berbagai macam buah untuk manusia. Kepasrahan adalah inti dari pergerakan dunia. Ia menopang kehidupan agar tetap eksis. Gerak ini berlangsung sangat lama jauh sebelum teori kepasrahan itu ditemukan. Ibarat pohon bergerak pasrah menuju cahaya matahari dengan kepasrahan yang sempurna. Tenang sekali. Ibarat bayi yang lahir lalu menghirup udara kehidupan yang
disiapkan semesta. Ia menyerahkan hidupanya pada pergerakan alam dengan kepasrahan yang sempurna. Demikian bayi dan alam semesta bertukar kehidupan melalui nafas yang dihirup dan nafas yang dihembuskan. Indah sekali.

Walaupun kepasrahan seringkali dianggap kekalahan, ketakberdayaan dan sikap negative lainnya. Menyerah di medan pertempuran berarti kekalahan, menyerah di tengah pejuangan dianggap pecundang. Kepasrahan yang didefenisikan sebagai kepuasan atas kondisi kekinian dipandang sebagai sikap negative karena menghambat optimisme untuk melangkah maju. Namun sungguh, kepasrahan tidak seperti yang didefenisikan di atas(kekalahan). Karena justru kemenangan, kekuatan, atau kesolehan bersumber dari kepasrahan. Kepasarahan mengajarkan untuk bersikap lentur pada arus kehidupan. Dengan cara meruntuhkan kedaulatan ego mengendalikan putaran kehidupan. Menerima apa yang disukai, memeluk apa yang dibenci atau enggan menerima apa yang disukai dan tidak menolak apa yang tidak disukai.

Dari sinilah ruang kesadaran tinggi di dalam diri akan melebar jauh. Perhatikan arus sungai yang mengalir lentur melewati celah-celah batu, pada akhirnya ia akan sampai pada yang tak terbatas di samudra luas. Hanya ego yang enggan menerima kenyataan dan mengalir bersama arus kehidupan. Diri yang dibungkus ego seperti kehidupan di dalam cangkang telur. Memang di dalam cangkang telur menghalir kehidupan. Tapi kehidupan sejatinya adalah di luar cangkang. Para pencari kehidupan sejati mengupacayakan  memecahkan cangkang ego untuk mencium wanginya aroma hidup.