Pages

Senin, 26 Januari 2015

Duka-cita Para Pejalan


Tidak terbayang betapa congkaknya manusia tanpa duka cita. Berjalan dengan kepongahan di hadapan kehidupan yang mengasihinya. “walaa tamsyi fi al-ardhi maraha”, demikian al –Quran mengingatkan. Dengan demikian duka cita mengajarkan untuk bersungkur  hormat di hadapan kehidupan. Seperti malaikat yang bersujud kepada Adam karena duka cita ketidaktahuan. Seperti Iblis yang dilempar dari surga karena kepongahan.

Duka cita mengantarkan manusia untuk kembali merenungi hidup. Bahwa tidak semua akan berjalan sesuai kehendak. Beberapa penulis berkata: “The best spiritual incentives are obstacles, problems, sufferings”. Bonus dan hadiah spiritual terbaik adalah halangan, masalah, penderitaan. Tidak ada pertumbuhan spiritual tanpa rintangan. Rintangan bukan membangun tembok tinggi untuk menghadang kehidupan, tapi meluaskan jiwa agar bisa menerima. Seperti samudra yang menerima apapun yang dibawa dari sungai.  Jutaan ton bangkai tak mengubah kadar samudra, tetap seperti itu. Melayani selamanya.

Kehidupan para nabi pun tidak sunyi dari dukacita. Pengusiran, pengingkaran bahkan terror pembunuhan menjadi santapan sehari-hari. Ini lah yang membuka cahaya hingga ajaran mereka diingat seusia dunia. Maka, dalam ajaran para pejalan Tuhan, mereka senantiasa berbisik: dalam duka cita ada Tuhan. Jika menanggapi duka cita dengan panasnya api kemarahan, tamu kehidupan yang akan datang akan terbakar. Di semua jalan menuju Tuhan, semua akan menemukan tanjakan kepedihan. Ikhlas menjalani, akan mejadikan kepedihan sebagai amplas yang menghaluskan budi.

Minggu, 25 Januari 2015

Pelabuhan yang mendamaikan: Agama


Hasil gambar untuk hening
Ketakutan adalah cara beragama yang banyak diperkenalkan. Peran para pegkhutbah agama menjadi hakim kehidupan dengan menakut-nakuti ummat dengan  siksa. Tidak saja di Indonesia, namun mencengkram kuat keseluruh penjuru dunia. Hingga kepelosok dimana asal-usul agama pertama kali dikhutbahkan para nabi suci. Azab yang pedih, ancaman neraka jahannam, dicambuk, hukum gantung, dipenjara, siksa kubur dll. Jika berbicara tentang kreativitas, maka para pengkhutbah agama  kini kehilangan banyak rasa pada kreativitasnya. Untuk lebih bisa menyentuh relung jiwa terdalam ummat, dibutuhkan nila rasa yang tinggi.


Filosof hebat mengajarkan keyakinan diri berlebihan seperti Descartes, cara berfikir mekanistik ala Galileo, dan pendekatan rasional menurut Freud. Tapi itu semua belumlah berhasil menerangi semua kegelapan. Memang tidak bisa dipadamkan, seperti cahaya yang menghasilkan bayangan. Yang harus terang adalah cara berpikir untuk memandang kegelapan, itu sudah menerangi.


Di awal abad ke 20-an, dengan pongahnya fisikawan mengatakan bahwa sisa sedikit bagian alam semesta yang belum bisa dijelaskan oleh ilmu pengetahuan. Keyakinan  itu tidak berumur lama, setelah mekanika kuantum ditemukan. Kenyataan lain tentang alam semesta lalu menggetarkan orang sekaliber Albert Einstein: “Ternyata apa yang tidak bisa diketahui benar-benar ada. Ia muncul berbajukan keindahan serta kebijaksanaan tertinggi. Inilah religiusitas sejati”.


Bukan salah mencari damai pada semesta luar. Sesuatu yang dianjurkan malah. Namun jangan lupa mendengarkan seruan semesta yang berbicara memberi tanda(ayat). Bukan malah memupuk kesombongan menepuk dada sembari mengabaikan kedalaman nurani. Sains bukan meruntuhkan nilai kehidupan dengan membiarkan anak kecil memegang senjata, membiarkan remaja menggunakan kondom sebebas-bebasnya. Sementara ini semesta mulai berbicara lewat gempa bumi, gunung meletus, tsunami dan wabah penyakit. Mungkinkah ini isyarat ketidak seimbangan pencarian manusia yang selalu menunjuk ke luar dan lupa ke dalam. Di barat, mulai kekeringan nilai cinta setelah manusia diprogram menjadi mesin pekerja. Sehari-hari mereka bekerja mekanis mengikuti alarm khusus dari atasan. Agama diharapkan menjadi pelabuhan untuk menyandarkan kepenatan malah berubah menjadi institusi yang menakutkan. Agama dijauhi, agama dicaci.

Selasa, 20 Januari 2015

Olah Kehidupan



 
Peradaban semakin jauh dari sikap rahmat. Palestina yang memiliki akar peradaban kenabian yang harus membara dengan peperangan yang tak pernah berhenti. Timur tengah secara umum terus-terus menumpahkan darah di bumi yang jejak para nabi dan pengikutnya pernah bertumpu di situ. Di sini saya sedang tidak mencoba mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Juga tidak mengatakan bahwa para nabi suci yang dikirim Tuhan telah gagal menyadarkan ummat. Hanya saja bumi jejak para nabi ini sedang berdiri sebuah monument kesedihan. Seolah kitab suci semuanya habis terbakar oleh kebencian dan keserakahan. Kita patut meratapinya. Andai saja seluruh nabi dihidupkan kembali di sana (salam dan shalawat untukmereka semua), apa yang mereka akan katakan?


Amerika Serikat yang konon menjadi induk demokrasi dan kemanusiaan(HAM) ternyata para pemimpinnya saling menyerang. Kewibawaan lembaga kepresidenannya terjatuh ketika Barack Obama berpidato di senat lalu diinterupsi dengan teriakan “bohong”. Masih ingat dengan Bush yang dilempari sepatu?


Di Indonesia telah lama akar kesantunan berdiri kokoh tiba-tiba dirusak oleh sejumlah elit di tempat yang terhormat saling melempar kata-kata kasar. Kekerasan atas nama agama merebak seperti jamur di musim hujan. Jangankan kepada yang berbeda agama, yang berada dalam satu agamapun saling mencaci. Didesain atau tidak, tapi begitulah faktanya. Toleransi hanya fatamorgana belaka.


Besar kecurigaan jika dogma yang kaku yang menjadi penyebab semuanya. Kehidupan keberagamaan sudah jauh dari pemaknaan. Rutuinitas ibadah hanya sekadar penggugur kewajiban. Agama tidak mencipta kasih sayang, ia hanya mencipta robot-robot manusia yang mengolah kehidupan dengan sangat kaku. Terperangkap ke ibadah formalistic.


Jika kita ingin kembali menapaki sisi heningnya ibadah. Meresapi dalam-dalam pemaknaannya. Bukan karena tidak peduli dengan huru-hara kehidupan dan kemudian menjadi anti sosial. Tapi keheningan zikir mengantarkan kita untuk memandang kehidupan dari puncak. Di situ kita bisa menyaksikan kehidupan menyeluruh. Ibadah adalah sebuah pusat kehidupan yang menyeimbangkan. Inilah yang dimaksud Joseph Campbell dalam karyanya berjudul The Power of Myth: “There is a center of quietness within which is to beheld and known. If you lose that center, you are in tension and begin to fall”


Menyelami ibadah dengan pemaknaan memang tidak serta merta menyelesaikan semua persengketaan, tapi dari sinilah kita mulai mengulur tangan ke kehidupan kemudian menyentuhnya dengan kasih sayang. Diakui atau tidak, ada sisi lain dari kehidupan yang belum terjamah secara baik. Itulah cinta. Bila kita sudah “mencintai”musuh, di situlah awalnya.Saya pikir semua agama memiliki ini, sebuah makna terdalam dari toleransi.




Bimbingan dari dalam


 
Serupa dengan ikan yang mestinya hidup di samudra yang luas di taruh di kolam yang sempit. Serupa burung yang terbang bebas di angkasa dikurung di dalam sangkar. Serupa itulah hidup yang tidak di letakkan di tempat yang semestinya: resah, pemberontakan, kerinduan bergabung menjadi menu keseharian kehidupan.

Kehidupan itu takdir yang mesti di jalani, dimanapun tempat yang Tuhan takdirikan. Selalu ada tempat dimana kita bisa berdamai dengan keadaan. Mata selalu tertuju ke luar menyaksikan kehidupan dengan ragam intriknya, tapi lupa menoleh ke dalam menyaksikan sebuah rumah di mana dialog dapat menghubungkan kita dengan kehidupan tanpa luapan kemarahan dan penyesalan. Efek yang luar biasa melanda kehidupan adalah hilangnya tempat rehat manusia yang sesungguhnya. Agama hanya menjadi komoditi sebuah komunitas yang juga bingung. Terjebaklah kita berdialog tentang Tuhan yang tenggelam di sebuah tempat yang antah-berantah, berbicara tentang Tuhan yang hilang. Lebih dari itu, bagi orang yang muak menyaksikan itu semua, Tuhan dimasukkan ke keranda dengan menyebutnya sebagai Tuhan yang mati. Na’udzubillah.

Intrik kehidupan di luar adalah persaingan dan perbandingan. Kerasnya persaingan dan perbandingan menjadikan semakin terasing dengan diri sendiri. Makhluk yang berjalan tanpa kenal lagi siapa dirinya. Ajaran sufi mencoba mengembalikan semuanya seperti sedia kala: Siapa yang mengenal dirinya maka dia akan mengenal Tuhannya. Namun kerasnya intrik kehidupan membuat sebagian besar manusia semakin terasing dengan dirinya. WHO pernah meramalkan nasib dunia beberapa tahun ke depan. Begitu mengkhawatirkan. Sakit jiwa akan merebak seiring waktu berjalan. Tanda-tandanya sudah Nampak: Bunuh diri, menaiknya angka penghuni rumah sakit jiwa, bertumbuhnya jumlah anak-anak yang autis. Cepat atau lambat semua kita akan terjangkiti sakit yang sama jika tidak terobati.

Tekstur di dalam jiwa itu bertingkat. Itulah rumah rehat sesungguhnya. Ajaran agama ini menyediakan tempat khusus untuk kembali berehat di rumah sesungguhnya. Seperti ikan yang kembalikan ke samudra atau burung yang dikembalikan ke angkasa. Berdo’a, Shalat ataupun Zikir adalah mediator. Di sana diajarkan untuk hening sejenak(khusyuk) mencoba mendengar suara-suara dari dalam. Mengajari  pikiran untuk berhenti berbicara dan biarkan hati membimbing ke hening sempurna. Serupa dengan menguliti lapisan-lapisan bawang merah. Semakin dalam seseorang mengupas, semakin cemerlanglah wajah kehidupan terlihat. Bukan karena kehidupan memang telah berubah seketika, tapi cara memandang kehidupan itulah yang membuatnya berbeda.

Itulah jalan para pejalan. Jalan lurus yang digambarkan al-Quran bukanlah jalan yang lurus memanjang tak berujung. Filosofi al-Quran bahwa kita dari-Nya dan kepada-Nya akan kembali menegaskan bahwa perjalanan kita adalah perjalanan melingkar. Maka sesungguhnya kehidupan adalah perjalanan menuju kesempurnaan. Wajah-wajah kehidupan yang disaksikan beraneka ragam bagi yang telah tercerahkan hanyalah lidah Tuhan yang memberi bimbingan tentang bagaimana cara untuk kembali. Kehidupan bukanlah hukuman, tapi semacam berkah yang memiliki tekstur berlapis-lapis. Yang pandai menyelami ke kedalaman, ia akan dibimbing kearahn-Nya. Di kedalaman ini, semua dualitas (baik-buruk, surge-neraka,cantik jelek-naik-turun, lahir-mati dll) akan tenggelam ditelan rahmat yang menyatukan.Tiba-tiba pohon sejuk kehidupan memayungi semuanya tanpa terkecuali. Bukankah sungai mengalir dapat menyuburkan semua yang dilaluinya? Atau seperti bumi yangmenyediakan tempat untuk semua makhluk berada di atasnya