Ego takut
akan pengalaman mistik yang mentransformasi diri. Perubahan besar yang akan
terjadi selama dan setelah transformasi diri akan mematikan eksistensi ego.
Dari “aku menjadi “kita” adalah hal yang menyakitkan bagi ego. Ego yang
bersifat narsis lagi matersialistik berubah menjadi kasih sayang tanpa batas
dan percaya kepada Tuhan bukanlah zona nyaman ego yang selalu menginginkan
sifat stabil tanpa perubahan,
Sang
Bayangan, Istilah Carl Gustav Jung untuk menggambarkan betapa gelapnya
kehidupan ego. Ia selayaknya kekuatan Iblis yang menolak bersujud kepada Adam
karena kesombongannya. Ia tidak ingin ada orang lain, hanya ada dirinya
sendiri. Diri yang terpisah. Diri yang dijunjung. Sebagian Ulama ada yang
mengatakan bahwa Iblis pada mulanya memang adalah kekasih Tuhan yang memiliki
derajat selayaknya malaikat. Kecemburuan kepada Adamlah yang menurunkan
derajatnya sebagai makhluk yang dilaknat hingga masa berakhir.
Walau
para sufi memandang alam raya ini dengan cinta Tuhan, tetap saja setiap ada
cahaya pasti ada bayangan. Sang Bayangan inilah pencuri apa yang berharga dari
kehidupan spiritual manusia. Semakin berharga isi rumah spiritual manusia
semakin ia mendatangi untuk merebutnya. Ia seperti wanita pecemburu yang
menginginkan semua madunya hancur untuk mendapatkan perhatian lelakinya hanya
untuk dirinya. Gemuruh perlawanan batiniah terjadilah. Amuknya kian hari kian
membesar. Para penempuh jalan spiritual pemula seolah dibuat bingung, dari
bahan bakar apa sehingga Sang Bayang itu tak pernah kehabisan energy? Padahal
ia sendiri mulai lelah. Perang yang berkecamuk di dada itu telah digambarkan
oleh baginda nabi sebagai perang melawan hawa nafsu. Ketika itu Rasulullah dan
para sahabatnya telah kembali dari medan pertempuran yang sangat dahsyat karena
memakan korban yang begitu banyak. Tapi Rasulullah berkata, “Sebenarnya kita
baru saja pulang dari peperangan yang kecil menuju peperangan yang lebih
besar.”
“Yang
manakah peperangan yang lebih besar itu ya Rasulullah?”
“Perang
melawan hawa nafsu.” Jawab Rasulullah.
Memang,
perang yang terjadi di dunia luar tidak sebanding dengan perang yang berkecamuk
di dalam diri. Di sini perang tanpa akhir, tapi di luar sana perang bisa saja
berakhir. Di sini perang begitu kompleks, multi strategy dan butuh kejelian
karena sekutu dan lawan serupa dan akan terus serupa sepanjang masa. Tapi perang di dunia luar, segera akan
diketahui siapa lawan, siapa sekutu.
Coba
perhatikan, gelap malam yang mencekam. Si pencuri itu datang ingin mengambil
seluruh perhiasan berharga di dalam rumahmu. Mengendap-ngendap, tapi dirimu
memiliki insting yang sudah terasah sehinggap mengetahui langkah kaki yang
tidak biasanya dan suara berisik yang asing. Dia pencuri. Dengan sigap engkau
mengambil sebilah pisau sebelum ia menghabiskan seluruh perhiasanmu, tapi dia
ternyata memiliki belati. Saat engkau mengambil pedang, ia mengancammu dengan
samurainya. Saat dirimu menggenggam sepucuk pistol, ia menodongkan pistolnya
juga. Seolah senjata apapun yang engkau miliki, semuanya dimilikinya juga. Si
ego mencerminkan kekuatan apapun yang engkau miliki. Sang bayang muncul
mencerminkan bentuk tubuhmu.
Namun
tanpa senjata apapun, nyalakan lampu hingga cahayanya berpendaran memenuhi
seluruh ruangan, Sang Bayang akan hilang.
Gagasan
terburuk adalah melawan ego. Melawan adalah cara untuk selalu kalah dalam
kompetisi melawan Iblis dan pasukannya. Betapapun kuatnya manusia, ketika diadu
dengan syetan selalu saja manusia kalah dan syethan akan keluar jadi
pemenangnya. Adalah sangat penting menghimpun sebanyak mungkin cahaya Tuhan,
itulah cara terbaik memenangkan pertempuran tanpa peperangan. Sebenarnya engkau
tidak melawannya, hanya saja Rahmat Allah begitu besar untukmu.
Sintas diri
BalasHapus