Pages

Kamis, 25 Juni 2015

Tentang pelayanan

Pelayanan  itu  kata  lain  dari  cinta.  Ia  mendidik  melampaui  zaman  dari  sebuah  system.  Melatih  respon  dan membentuk  kebiasaan  mental  yang  terlihat  ramah,  lembut  dan  tidak  menakuti  yang  lainnya.  Kekuatan  dari  dalam yang tergiring keluar itu sifatnya  menyembuhkan kehidupan.

Pelayanan  adalah  kekuatan  yang  dapat  dipelajari.  Namun  hanya  dapat  dimengerti  saat  melakukannya.  Seperti  mereka yang  baru  dapat  benar-benar  mengerti  tentang  cara  mengendarai  motor  saat  benar-benar  mencoba  mengendarainya sendiri.  Atau  berenang  dengan  cara  mencemplungkan  diri  ke  dalam  kolam.  Kekuatan  pelayanan  bahkan  berpeluang mengubah  semuanya  bahkan  hingga  ke  susuan  syaraf  bahkan  hingga  ke  gen  kita.  Watak  yang  tumbuh  dalam  tradisi mengedepankan ego secara  perlahan lenyap tanpa  bekas. Tamsil  yang  paling  mudah  dimengerti  adalah  saat  kita  memiliki  beberapa  piring  makanan  lezat.  Jika  kebahagiaan diletakkan  pada  perut  maka  paling  banyak  yang  bisa  ditampung  adalah  dua  hingga  tiga  piring  makanan.  Namun  jika kebahagiaan  diletakkan  pada  pelayanan  kepada  manusia  dengan  cara  berbagi,  maka  berapa  banyak  manusia  yang membutuhkan?  Berapa  lama  kita  bisa  mengecap  kebahagiaan.  Itulah  rumus  tua  yang  dilupakan.  Itu  pulalah  sebabnya mengapa  mereka  yang mengabdikan hidupnya  untuk melayani tak pernah hilang dari wajahnya  senyuman.

Literatur  agama  ini  mengajari  pemeluknya  untuk  melayani.  Menyebut  mereka  yang  tidak  memiliki  luka  tergores walau sedikit saja  di dadanya  dengan pendusta  agama.  Walau ia  ahli  shalat  sekalipun. Tahukah  kamu  (orang)  yang  mendustakan  agama?  Maka  itulah  orang  yang  menghardik  anak  yatim,  dan  tidak  mendorong  memberi makan  orang  miskin.Maka  celakalah  orang  yang  shalat,  (yaitu)  orang-orang  yang  lalai  terhadap  shalatnya,  dan  enggan  (memberikan) bantuan kepada mereka.

Ada  mekanisme  otak  dan  kerja  hormon  yang  menimbulkan  reaksi  pelayanan.  Mesti  mekanisme  itu  tidak  sekuat instingtual  primitive  di  otak  tengah.  Sebab  ia  adalah  jawaban  reflex  terhadap  suatu  rangsangan  dari  luar  demi mempertahankan  kelangsungan  hidup.  Para  guru  tasawuf  selalu  bercerita  tentang  penataan  ulang  pikiran-pikiran  kita dengan  membuat  jarak  antara  nurani  dengan  insting  hewani  yang  merusak  itu.  Bagi  mereka  yang  berhasil  membuat jarak  ini,  semakin  jauh  jaraknya  maka  semakin  muaklah  ia  dengan  konflik.  Konflik  itu  adalah  dualitas  tentang  ―Aku‖ dan  ―Kau‖,  sementara  nurani  menginginkan  penyatuan.  Lelucon  itu  terdengar  merdu:  semua  manusia  menginginkan Tuhan namun bertengkar tragis seperti iblis yang tidak menginginkan penyatuan.

Sebetulnya,  otak  tengah  hanya  seolah-olah  menjadi  jawaban  reflex  untuk  mempertahankan  diri.  Konon  ia  akan bekerja  sangat  buas  ketika  tak  diberi  pilihan  lain.  Fight  or  flight.  Atau  mungkin  Tuhan  memberi  keseimbangan  yang lebih  manusiawi.  Ia  juga  jawaban  reflex  terhadap  sebuah  rangsangan.  Bayangkan  kita  berdiri  di  sebuah  tempat. Menyaksikan  seorang  bayi  menangis  meraung-raung  berayung-ayung  hendak  terjatuh  di  bibir  sumur.  Jawaban  reflex kita  adalah  menolongnya  tanpa  mempertanyakan  identitasnya.  Ada  kekuatan  yang  lebih  dari  sekadar  insting  dari dalam  yang  menghambur  keluar  memaksa  untuk  bertindak  penuh  cinta. 

Educere,    dalam  bahasa  latinnya.  Sebuah  pola pendidikan Tuhan lewat jalur fitrah. Dari  mana  memulainya?  Manusia  terlanjur  kecanduan  egoism.  Seolah  segala  hal  yang  terjadi  di  dunia  ini  tidak  akan bisa  selesai  kecuali  dengan  kebencian  dan  prasangka.  Penjelmaan  yang  benar-benar  sempurna.  Kebatilan  itu  muncul dan  mengaku  sebagai  kebenaran  nyaris  tanpa  cela.  Manusia  benar-benar  ditipu.  Dunia  tanpa  kekejaman  adalah rumus  tua  yang  mulai  ditertawakan.  Sumber  daya  alam  yang  semakin  sedikit  sementara  pemangsa  sumber  daya  alam melonjak  tak  terbendung  adalah  alasan  rasional  untuk  memangkas  jumlah  penduduk  dunia.  Penyakit  menular  dan peperangan  adalah  dewa  yang  dipuja,  sebagai  jawaban  dari  keterbatasan  makanan  yang  akan  mengisi  ruang  perut

Jumat, 12 Juni 2015

Dedaun yang jatuh

Serupa diterjunkan ke sebuah medan pertempuran, tidak ada pilihan lain kecuali perperang. Berdiam diri atau berpura-pura seolah tidak terjadi pertempuran adalah pekerjaan bodoh. Diam berarti terbunuh, sedangkan melawan masih memiliki beberapa kemungkinan menang, kalah atau draw.

Memang terlalu mengerikan jika perjuangan batin disebut dengan pertempuran. Kebenaran itu tidak mengerikan tapi menyejukkan. Hanya saja seseorang tidak boleh berpura-pura diam seolah tidak ada kecamuk di batin. Seperti kuda liar yang butuh ditambatkan lalu dipelihara. Seperti bandul yang berayun-ayun ke kiri dan ke kanan. Saat bandul bisa didiamkan, maka di saat itulah keheningan menyelimuti.

Pesona batin yang hening akan menghadirkan kebenaran yang menyejukkan. Akan terdengar kembali suara-suara yang terabaikan, suara nurani yang tenggelam dalam hiruk-pikuk bicara di kepala. Akan terlihat sebuah penyaksian yang mengagumkan, factor bahagia dan derita dalam versi kepala ternyata hanya sebuah ilusi. Ibnu Athaillah al-Iskandari mengingatkan untuk tidak merasa ganjil dengan penderitaan yang nampak. Apa yang nampak sebagai penderitaan ataupun kebahagiaan, maka seperti itulah adanya. Belajar menikmat tanpa keluhan. Sungai yang mengalir, dedaunan yang jatuh, matahari yang terbit tenggelam, awan yang berarak, hujan yang turun, seluruhnya adalah peristiwa yang alami. Jika pun harus terjadi maka akan terjadi. Seperti itu pulalah silih bergantinya penderitaan dan kebahagian, pujian dan cacian, kekayaan dan kemiskinan, kehidupan dan kematian, seluruhnya adalah peristiwa yang alami. Jikapun  harus datang maka akan datang, pada waktu dan tempat kejadian yang sempurna. Tidak ada yang ganjil.

Salah satu makna Islam adalah pasrah total,  ikhlas sempurna di hadapan Tuhan. Seluruh kehendak manusia lebur dalam kehendak Tuhan. Selayaknya pohon yang berdiri apa adanya, namun dalam diam ia bergerak mendekati cahaya dengan keikhlasan sempurna. Kepasrahan total seperti ini dapat terjadi jika saja tidak ada lagi keinginan, tidak ada lagi masa lalu yang disesali, tidak ada lagi masa depan yang menghantui. Yang tersisa hanya keikhlasan sempurna di masa kini yang abadi. Atau dalam bahasa Ibnu Athaillah: mengistirahatkan diri dalam mengomentari urusan dunia. Urusan yang telah diatur oleh Tuhan sedemikian rapi dan sempurna tidak perlu sibuk untuk turut campur. Jika begini akan bertemu ahwal batin yang apa adanya dalam penyaksian.Sebuah batin yang sepi dan sunyi, yang tersisa adalah senyuman bahwa Tuhan benar-benar  hadir di setiap peristiwa alam. 

Sayangnya ego mengajari untuk menghakimi setiap kejadian, mengomentari setiap malapetakan dan menangisi setiap kepedihan. Ego mengajari semua itu seolah bukan peristiwa yang wajar. Inilah pertempurannya jika pun harus dianggap pertempuran. Dalam pertempuran ini, kita memiliki modal utama, yaitu bergantung sepenuhnya kepada Tuhan. Dialah yang menuntun kaki untuk dapat berjalan menujun-Nya.

Ikhtiar lain yang bisa dilakukan adalah: Pertama, belajar melihat di kedalaman, misi kenabian adalah rahmat bagi seluruh alam, maka semua makhluk berhak bahagia dengan sentuhan agama, tidak ada satupun yang menginginkan derita. Mencitai setulusnya, bila belum bisa maka cukup dengan tidak menyakiti. Kedua, menikmati langkah keseharian dalam kesadaran yang sempurna. Sampai ketemu waktu yang berputar tanpa rasa, di tempat kerja serasa melakukan rekreasi. Atau memimjam ajaran Guru Zen: Sejatinya tidak ada sampah kesialan di kehidupan ini, semuanya hanyalah bahan yang tengah berproses menjadi bunga. Ketiga, semua kejadian serupa gelombang yang

Kamis, 04 Juni 2015

Menembus Kabut Fenomena

Tuhan tersedia bagi manusia dua puluh empat jam setiap hari dengan pelayanan yang sempurna. Rasa syukur yang dalam merupakan bentuk pemujaan yang akan mengantar manusia berjumpa langsung dengan-Nya. Manusia wajib menyadari,  Tuhan selalu terlibat dalam hidup manusia tanpa jeda. Ia memberi hidup sekaligus yang menyertai kehidupan ini.

Perhatikan berisiknya ombak yang menggulung, yang menerjang bibir pantai, yang  kecil-besar, yang kuat-lemah, perhatikan jika semuanya pada akhirnya jatuh hening di permukaan air. Tenang mengalir. Semakin  menuju ke kedalaman semakin tenang, semakin hening. Hidup yang terbiasa di atas permukaan akan terdengar riuh sebagaimana ombak yang senantiasa menghempas-hempas bibir pantai. Namun jika belajar menyelami ke kedalaman ada keindahan lain bercerita yang mengantarkan manusia menggapai keluasan tak berhingga. 

Kehidupan yang mengombak itu bernama kegelisahan, iri-dengki, bingung, tegang, sedih, amarah semua pada akhirnya merunduk pada permukaan air kehidupan. Ia bernama kedamaian. Ia bernama perjumpaan dengan yang Maha Kudus dalam keheningan. Sebagaimana ombak tak akan pernah ada jika tanpa air, sebab air adalah pondasi bagi ombak. Dengan begitulah manusia akan menemukan kedamaian jika ia kembali ke pangkuan dimana ia berasal, yang menjadi penopang kehidupannya semenjak ia dari ketiadaan sampai ia kembali ke ketiadaan. Ialah Allah, Tuhan semesta alam.

Seumpama ikan dengan air. Ikan dilingkupi oleh air. Air menghidupi ikan untuk semua kebutuhannya dalam pelayanan tanpa henti.. Tanpa air, ikan tak mungkin bisa hidup, bergerak, dan ada. Seperti itulah kedekatan manusia dan Tuhan: Manusia seperti ikan dan Tuhan seperti samudra. Tuhan melingkupi manusia secara menyeluruh  sekaligus mendalam. Di dalam sekaligus di luar, dalam pelayanan tanpa pamrih. Kehidupan akan terus bergerak, diminta atau tidak diminta. Orang yang mengingkari kehadiran Tuhan pun masih tetap bisa bernafas, diminta atau tanpa ia minta.

Jika berbicara fenomena dan neumena maka ombak bagi air adalah dunia fenomena. Tapi air itu sendiri adalah neumena. Ia adalah substansi bagi ombak yang tanpanya ombak tidak akan bisa ada. Apapun yang dapat diindra maka itulah yang disebut fenomena. Udara, manusia, buku, pepohonan, hewan kursi, rumah, gunung, , iklan, pakaian, TV, komputer,  handphone dan seterusnya adalah fenomena. Jika dapat diindra maka dapat pula diukur. Manusia dapat mengukur panas dengan thermometer, berat dengan timbangan, jarak dengan meter, kecepatan dengan stopwatch dst.

Berbeda dengan fenomena, pengalaman di dunia neumena nyaris tidak bisa dikonsepkan, hanya bisa dibahasakan dengan symbol-simbol rumit. Oleh karena itulah seorang Sufi yang terbiasa menyelami dunia neumena selalu dianggap gila atau jika tidak maka dia akan dianggap kafir. Sebab jika tiba saatnya ia berbicara kedalaman, ia akan mengungkapkan sesuatu yang nyaris tak bisa dibahasakan. Hingga saat ini, kedalaman memang masih diidentikkan dengan kegelapan.