Pages

Kamis, 05 Maret 2015

Pulang...



(Ditulis ketika lebaran Idul Adha)

Perhatikan katak yang kerjanya lompat ke sana kemari. Ia disimbolkan sebagai makhluk yang terus mencari. Hasilnya, tetap saja ia tidak menemukan madu.

Manusia begitu, mencari dengan melompat ke sana kemari. Selalu saja ada yang kurang, tapi tidak mengetahui apa yang kurang itu. Hidup dalam kebingungan seperti ini membuat manusia tidak pernah berhenti untuk terus mencari. Dan di antara sekian banyak yang dicari, rumah rehat  batinlah yang paling banyak menguras energi. Ia serupa madu kehidupan yang manis sekaligus obat.

Yang tersesat jalannya hanya akan kembali ke pangkuan harta, kekuasaan, wanita yang bahkan membuat semakin dahaga. Banyak yang sudah bertengger di atas harta yang berlimpah namun korupsi lalu menghabiskan hidupnya di penjara. Ada pula yang telah menggapai kedudukan tinggi dengan jabatan yang disanjung banyak orang terpaksa harus mengakhiri hidupnya di rumah sakit jiwa. Yang berumah tangga seringkali berakhir dengan perceraian dengan bermacam-macam gonjang ganjingnya. Sebagai akibatnya, perjalanan kehidupan seperti menggali sumur tanpa dasar. Menggali, menggali dan menggali, tapi sepanjang perjalanan tetap penuh dengan kegelapan.Tidak ada tanda-tanda cahaya di sana.

Lebaran dan pulang, serupa hijaunya bukit takkan terpisah dengan bukitnya. Sama tidak  mungkinnya memisahkan lebaran dengan pulang ke kampung halaman. Lebaran mengajarkankan kita untuk berhenti meloncat. Pulanglah ke rumah sesungguhnya. Sebagaimana pulang kampung yang selalu menyisakan rindu dan keteduhan.

Jika katak disimbolkan sebagai makhluk pencari namun tidak ketemu, maka kupu-kupu adalah simbol mahluk indah yang bertemu dengan madu kehidupan. Tanpa harus melocat, kupu-kupu langsung terbang menuju titik pusatnya bunga. Bertemu dengan madu sesungguhnya.

Berteduh di rumah batin

Entah dari mana asal usul budaya pulang ini, yang pasti lebaran berperan sebagai guru simbolik yang membimbing manusia menuju pencerahan. Pergulatan dengan waktu selalu ditandai dengan ketegangan demi ketegangan. Hawa dunia terasa terbakar dengan berbagai macam kemarahan, umpatan, perkelahian dan pembunuhan. Yang mulai berhenti mencari lalu belajar mendengarkan suara batin, ada kerinduan di sana. Ada suara yang memanggil-manggil untuk kembali kepangkuan kehidupan teduh. Sebuah rumah memancarkan aroma kedamaian.

Roda kehidupan membentuk lingkaran kehidupan: malam-siang, gagal-sukses,dicaci-dipuji, kaya-miskin, sakit-sehat. Lingkaran kehidupan ini sesungguhnya telah diikat oleh hukum ketidakkekalan. Semuanya datang dan pergi secara bergiliran. Sangat sederhana, sesederhana hujan yang harus turun jika musim hujan, sesederhana kemarau yang mesti datang di musim kemarau. Semuanya berputar di lingkaran itu. 

Di pinggir lingkaran, manusia menanggapinya dengan penuh keguncangan. Padahal di pusat lingkaran, takkan dipengaruhi oleh keadaan. Al-Quran menggambarkan orang seperti ini dalam surah al-Hadid: “Tidak bersedih hati dengan apa yang hilang dan tidak bergembira dengan apa yang ditemukan.” Kondisi hati yang benar-benar tidak terikat dengan keadaan. Jika saja kita ingin sedikit berjalan menuju pusat lingkaran, di sanalah madunya kehidupan. Dan rasa syukur dan ikhlas adalah kekuatan yang bisa menghantar menuju titik pusat lingkaran. Para sufi sering menyebut kondisi ini sebagai kondisi bersahabat dengan kehidupan.

Mari pulang marilah pulang
Pulanglah kita bersama-sama