Setidaknya ada empat cara pandang
beragama dilihat dari perkembangan egonya.
Pertama.
Tuhan berada
dalam persepsi hamba-Nya, demikian hadits qudsi menegaskan. Namun untuk
mempersaksikan Tuhan sebagaimana adanya, seseorang harus benar-benar berani
mengakhiri status quo fikiran beserta semua pengalaman yang pernah
mengiringinya. Jika tidak, maka wajah Tuhan berubah-ubah sebagaimana persepsi
yang keluar dari fikiran. Tuhan Maha Kasih di satu sisi dan Maha Murka di sisi
yang lainnya sangat bergantung kondisi batin. Tuhan di sini menjadi hamba yang
dicipta di ruang fikiran manusia.
Kedua
Mulailah Tuhan
berwajah Tunggal: Dia menyayangi seseorang/kelompok tertentu, tapi tidak untuk
yang lainnya. Dia adalah Tuhanku, bukan Tuhanmu sehingga engkau tidak layak
mendapat curahan cinta-Nya. Selain dari kami, maka neraka.
Jiwa yang berada
ditahap ini begitu yakin dengan cinta Tuhan kepadanya secara personal ataupun
secara kelompok. Sayangnya mereka mengekspresikan cinta Tuhan dengan kebencian
kepada yang lainnya. Tak seorangpun yang
boleh memasuki surga kecuali melewati jalannya. Padahal penghakiman terhadap
orang lain hanya menghambat bertumbuhnya batin. Kebenaran itu baik, tapi
menyebut diri paling benar hanyalah merupakan kesibukan ego.
Ketiga
Ketika kedewasaan
batin semakin tertata dimana mencintai terasa akan lebih indah dari dicintai. Menerima
sama nikmatnya saat kehilangan. Pada kelompok ketiga ini, cinta tidak lagi
diikuti kebencian. Cinta adalah cinta yang sama sekali bukanlah lawan dengan
kebencian. Di sinilah wajah Tuhan tidak lagi bergantung pada kondisi batin
seseorang. Yang terlihat sebagai bencana, tidak lebih dari vitamin yang akan
menguatkan jiwa demi menaikkan maqam tauhid.
Keempat.
Kelompok keempat
adalah jiwa yang berada dipuncak. Jiwa yang tidak lagi terikat dengan apapun
kecuali Tuhan. Tuhan adalah realitas sempurna sementara yang lain adalah
bayangan dari Sang Realitas. Ketika tidak ada lagi yang wujud kecuali diri-Nya.
Jiwa yang pasrah total dengan segala keputusan-Nya. Sehat sempurna, sakit juga
sempurna. Sukses sempurna, gagal juga sempurna.Kehidupan sempurna, kematian
juga sempurna. Kaya sempurna, miskin juga sempurna. Jiwa yang tidak lagi
mengenal dualitas. Dalam bahasa al-Quran, “Wahai Tuhanku, tidaklah Engkau
mencipta apapun kecuali sempurna dalam penciptaan.”
Jiwa yang di
dalam dirinya tidak mengenal kamus celaan, apapun alasannya. Seperti kata
konfiusisus,”Bila bertemu orang baik, teladanilah. Jika bertemu orang jahat,
periksalah pikiran Anda sendiri”.
Jiwa yang sempurna
BalasHapus