Pages

Sabtu, 28 Februari 2015

Hidup dalam seutuhnya doa.





Di dalam yang terlihat hanya ada yang terlihat, di dalam yang terdengar hanya ada yang terdengar, di dalam yang tercerap dengan indra-indra yang lain hanya ada yang tercerap, di dalam yang muncul dalam batin (ingatan) hanya ada ingatan. Kalau kamu bisa berada di situ, maka kamu tidak ada. Itulah, dan hanya itulah, akhir duka cita." (Bahiya Sutta)

Demi mendekapi kedamaian orang lari dari lingkungan sosialnya kemudian menyisih ke tempat sepi. Sebab menurutnya, di tengah hiruk pikuk pasar, suara-suara gaduh peperangan dan di tarik ulur kepentingan dunia, maka orang sulit menyentuhkan batinnya di dalam kedamaian. Walaupun pada kenyataannya orang bisa saja tidak damai di tengah hutan yang secara fisik telah menyentuh nilai sunyi sebagaimana  seseorang juga bisa mengalamai kedamaian di tengah hiruk-pikuk pasar dan gaduh peperangan. Jadi, damai tidak datang dari lingkungan luar, tapi datang dari dalam diri. Memang lingkungan yang tenang dapat membantu batin dapat menyentuh kedamaian, namun bukanlah menjadi hal yang pokok.

Tidak ada jalan lain menuju keheningan, kecuali lewat keheningan itu juga. Entah di sunyi hutan belantara atau di tengah gaduh peperangan, jalan ke sana tetap di dalam dan lewat keheningan. Dalam titik keheningan orang akan menemukan kedamaian. Di dalam kedamaian ada ruang yang meluas luas lintas waktu. Di wilayah ini seorang mengalami keterbebasan yang ditandai dengan kejernihan peahaman, pemurnian-pemurnian, dan pembelajaran hidup. Di sana, hijab disingkap dan hakikat ketuhanan terbuka. Yang Absolut akan menyapa ubun-ubun. Tiba-tiba segala ilmu yang terkumpulkan sepanjang usia hilang arti. Yang ada adalah Dia

Di saat  Tuhan menyapa hambanya dalam bahasa keheningan, maka sang hamba bisa merasakan penyembuhan-penyembuhan dalam hal spiritual, psikologis, dan bahkan hingga ke fisik. Penyembuhan spiritual bisa berarti, keterfahaman dan gugurnya dosa di masa lampau atau yang kelak. Penyembuhan psikologis berarti sang hamba merasakan tergerus habisnya segala beban emosi, entah itu rasa takut, rasa gelisah, kecemasan, dan sejenisnya yang lain. Penyembuhan fisik artinya, sang hamba mengalami penyembuhan yang menyangkut tubuhnya seperti kesembuhan dari sakit di bagian tubuh tertentu baik yang ringan ataupun yang berat. Di sinilah doa seutuhnya. Bagi yang telah terfahamkan, maka dari sini doa bukan hanya jalinan bahasa kepada tuhan dengan permintaan-permintaan untuk pemenuhan kehidupan, juga bukan doa yang berbatas ruang dan waktu tertentu, akan tetapi keseluruhan hidup menjadi doa itu sendiri.

Kamis, 12 Februari 2015

Dialog Kosmik di Hari Raya Qurban

  

Alangkah manisnya rumah yang dihiasi dengan taman rindang. Kesan seperti itu yang sering kali terdengar manis di telinga. Bagi pendengar, itu sudah sangat menghibur. Namun sesungguhnya ada warta lain yang lebih membimbing manusia di luar dari kesan kebanyakan. Di tempat itu menyuguhkan lebih dari sekadar taman rindang, tapi juga memberi citra sejuknya berbagi kasih sayang di atas hijaunya rumput, dihias lembutnya dedaunan, dimanja berseminya bebungaan. Bila yang terjadi sebaliknya, tidak akan didapatkan lagi sejuknya cahaya rerumputan, rimbunnya dedaunan dan manisnya bebungaan. Kuncup bunga menjadi layu, dedaunan akan kering. Segalanya akan menjadi redup.

Sesiapalah tamu yang datang jika taman menyuguhkan keindahan. Di tempat dirangkainya perbedaan menjadi keindahan, segerombol binatang lembut akan datang dengan sukarela. Kupu-kupu, kumbang, capung semuanya dapat  menari damai dengan caranya sendiri. Tapi taman yang rusak, akan disuguhi pertengkaran tamu dari binatang penggerek: tikus, kecoak, nyamuk dan kalajengking ataupun jenis lainnya.

Di hadapan alam, lebih memungkinkan manusia untuk membuka nurani. Agama ini menyediakan media tafakkur untuk menemukan bimbingan dari semesta. Yang terbiasa berada dalam beningnya dzikir akan merasakan sebuah dialog kosmik antara dirinya dengan alam semesta. Tasbih alam semesta memberi pengajaran bagi sesiapa yang bisa memetik ibrah. Dari pohon yang bergerak ke arah cahaya berpesan tentang arah kehidupan yang harus selalu berada di bawah cahaya. Gemericik air mengalir tanpa beban ke samudra. Tak peduli halang rintangan bebatuan sepanjang perjalanan. Selalu ada cela untuk bisa melewati halangan berkat kelembutannya. Bahwa kelembutan akan mengantarkan manusia keluar dari penderitaan, mengalirlah di jalan takdir apa adanya tanpa pertentangan dan perlawanan. Air yang menemukan permukaan datar akan memantulkan bayangan di atasnya. Semakin jernih, semakin tenang maka rembulan akan tergambar jelas di atasnya. Kejernihan hati akan memperjelas lagi bimbingan. Tenang, hening lalu temukan petunjuk.

Sayang sekali, alam yang menjadi guru kehidupan perlahan dilupakan seiring dengan hilangnya kepekaan. Pendidikan digiring ke arah yang mekanik minus rasa. Akibatnya di dunia kerja keikhasan adalah barang yang langka bahkan menjadi buah ejekan. Kepemimpinan menjadi menjadi hantu yang kerjanya menakut-nakuti. Memang jabatan kerap memaksa pemangkunya mengenakan topeng-topeng keangkuhan dan kesombongan. Marah setiap hari dengan dalih wibawa dan efektifitas kekuasaan. Padahal, hanya dengan kepekaan hati yang memungkinkan tersambung dan berdialog dengan kosmik. Berdialog dengan penghuninya. Selubung yang menjadi hijab antara hamba dengan Tuhan bisa tersingkap lewat ini.

Dengan dibekali kepekaan, kerja-kerja kehidupan akan terasa sebagai doa yang menggetarkan. Lihatlah kupu-kupu yang mendekati bunga dengan kehati-hatian seperti tidak ingin merusak keindahan bunga. Menjaga keindahan adalah sisi lain dari kepekaan. Tatkala rasa dan keindahan sudah mulai terhubung dengan kosmik, maka beragama tidak lagi sekadar menggugurkan kewajiban. Pelayanan kepada manusia terasa nikmat. 

Hari raya adalah taman yang dihiasi bebungaan. Semua jenis manusia seperti tamu kehidupan yang berhimpun dalam satu barisan rapi. Datang melebur dalam satu barisan tanpa dendam, dengki, iri hati dan semua penyakit hati lainnya. Kaya-miskin, pejabat-rakyat jelata, tua-muda semuanya berhimpun saling jabat hati.

Makna kepekaan Idul Adha lebih dekat ke penyembuhan diri sendiri. Budaya individu diubah menjadi pelayanan dan berbagi. Melukis kembali kehidupan keberagamaan dengan kanvas kasih sayang. Di jalan sufi, pelayanan berarti menghidupkan kembali kesenian yang hilang dari agama: Kepekaan.  

Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah dan tidak (pula) darahnya, tetapi takwa daripada kamulah yang dapat mencapainya… (QS. Al-Hajj (22) : 37).

Minal Aidina wal Faizin.