(Ditulis ketika lebaran Idul Adha)
Perhatikan katak yang kerjanya
lompat ke sana kemari. Ia disimbolkan sebagai makhluk yang terus mencari.
Hasilnya, tetap saja ia tidak menemukan madu.
Manusia begitu, mencari dengan
melompat ke sana kemari. Selalu saja ada yang kurang, tapi tidak mengetahui apa
yang kurang itu. Hidup dalam kebingungan seperti ini membuat manusia tidak
pernah berhenti untuk terus mencari. Dan di antara sekian banyak yang dicari,
rumah rehat batinlah yang paling banyak menguras energi. Ia serupa madu
kehidupan yang manis sekaligus obat.
Yang tersesat jalannya hanya akan
kembali ke pangkuan harta, kekuasaan, wanita yang bahkan membuat semakin
dahaga. Banyak yang sudah bertengger di atas harta yang berlimpah namun korupsi
lalu menghabiskan hidupnya di penjara. Ada pula yang telah menggapai kedudukan
tinggi dengan jabatan yang disanjung banyak orang terpaksa harus mengakhiri
hidupnya di rumah sakit jiwa. Yang berumah tangga seringkali berakhir dengan
perceraian dengan bermacam-macam gonjang ganjingnya. Sebagai akibatnya,
perjalanan kehidupan seperti menggali sumur tanpa dasar. Menggali, menggali dan
menggali, tapi sepanjang perjalanan tetap penuh dengan kegelapan.Tidak ada
tanda-tanda cahaya di sana.
Lebaran dan pulang, serupa hijaunya
bukit takkan terpisah dengan bukitnya. Sama tidak mungkinnya memisahkan
lebaran dengan pulang ke kampung halaman. Lebaran mengajarkankan kita untuk
berhenti meloncat. Pulanglah ke rumah sesungguhnya. Sebagaimana pulang kampung
yang selalu menyisakan rindu dan keteduhan.
Jika katak disimbolkan sebagai
makhluk pencari namun tidak ketemu, maka kupu-kupu adalah simbol mahluk indah
yang bertemu dengan madu kehidupan. Tanpa harus melocat, kupu-kupu langsung
terbang menuju titik pusatnya bunga. Bertemu dengan madu sesungguhnya.
Berteduh di rumah batin
Entah dari mana asal usul budaya
pulang ini, yang pasti lebaran berperan sebagai guru simbolik yang membimbing
manusia menuju pencerahan. Pergulatan dengan waktu selalu ditandai dengan
ketegangan demi ketegangan. Hawa dunia terasa terbakar dengan berbagai macam
kemarahan, umpatan, perkelahian dan pembunuhan. Yang mulai berhenti mencari
lalu belajar mendengarkan suara batin, ada kerinduan di sana. Ada suara yang
memanggil-manggil untuk kembali kepangkuan kehidupan teduh. Sebuah rumah
memancarkan aroma kedamaian.
Roda kehidupan membentuk lingkaran
kehidupan: malam-siang, gagal-sukses,dicaci-dipuji, kaya-miskin, sakit-sehat.
Lingkaran kehidupan ini sesungguhnya telah diikat oleh hukum ketidakkekalan.
Semuanya datang dan pergi secara bergiliran. Sangat sederhana, sesederhana
hujan yang harus turun jika musim hujan, sesederhana kemarau yang mesti datang
di musim kemarau. Semuanya berputar di lingkaran itu.
Di pinggir lingkaran,
manusia menanggapinya dengan penuh keguncangan. Padahal di pusat
lingkaran, takkan dipengaruhi oleh keadaan. Al-Quran menggambarkan orang
seperti ini dalam surah al-Hadid: “Tidak bersedih hati dengan apa yang
hilang dan tidak bergembira dengan apa yang ditemukan.” Kondisi hati yang
benar-benar tidak terikat dengan keadaan. Jika saja kita ingin sedikit berjalan
menuju pusat lingkaran, di sanalah madunya kehidupan. Dan rasa syukur dan
ikhlas adalah kekuatan yang bisa menghantar menuju titik pusat lingkaran. Para
sufi sering menyebut kondisi ini sebagai kondisi bersahabat dengan kehidupan.
Mari pulang marilah pulang
Pulanglah kita bersama-sama
Pulanglah kita bersama-sama
Mari pulang marilah pulang
BalasHapusPulanglah kita bersama-sama