Pages

Senin, 29 Desember 2014

Kesedihan dan Keberkahan




Kahlil Gibran adalah salah satu contoh manusia yang menyelami kesedihan. Di dalam kesedihan itu ia mendapatkan makna. Lahirlah sebuah karya bak kitab suci yang dikagumi semua orang. Mungkin karena dia memandang dunia dari sisi yang berbeda.

Tangisan itu manusiawi, sebagaimana tangisan suci Nabi Muhammad saw. saat ditinggal Ibrahim anaknya. Bahkan digambarkan bahwa duniapun turut menangis. Airmata yang keluar dari mata manusia suci ini sama dengan air  mata yang keluar dari mata kita, namun cara menyapa air mata itulah yang berbeda. Rasa sakit yang muncul boleh jadi juga sama, namun cara mendekap rasa sakit itulah yang berbeda.

Ternyata para orang suci terdahulu pun mendaki tangga-tangga kesedihan. Mereka melewatinya setapak-demi setapak sebagaimana adanya. Bahwa kesedihan dankegembiraan adalah pasangan kehidupan yang memberi pengajaran. Bukan sebagai hukuman yang menyesakkan yang mampu menghentikan perjalanan. Dunia tetap berputar, matahari tetap terbit dari timur lalu tenggelam di barat, manusia yang lain tetap dalam pekerjaannya sebagaimana sebelumnya betapapun kita menunjukkan kesedihan. Kesedihan tak akan mengubah apapun, kesedihan hanya melukai jiwa bagi yang tidak belajar untuk mendekapnya.

Kehilangan mengajarkan arti memiliki, begitu orang bijak berkata. Bagi yang merasa pernah memiliki, dia akan kehilangan. Namun sejatinya kita tak pernah memiliki apapun.Konsep kepemilikan akan menjadi nutrisi bagi ego untuk tumbuh menggelembung. Di puncak sudah bertengger penderitaan mendalam.  Merasa tak memiliki dan tak dimiliki adalah ajara sufi yang begitu agung. Dengan demikian mereka tergambar sebagai mana al-Quran memberi gambaran: “mereka para kekasih Allah tidak ada kekhawatirandi dirinya dan tidak pun mereka pernah dihinggapi perasaan sedih”.Begitulah keberkahannya.

Saya pun tidak tahu apakah Kahlil Gibran adalah benar-benar manusia yang dibimbing oleh kesedihan atau sebaliknya, tapi setidaknya dia mampu mengubah kesedihan menjadi sebuah karya. Semoga kita yang sedang mendaki tangga kesedihan mampu terbimbing dengan tersingkapnya ego selapis demi selapis. Kehilangan itu memberi tanda bahwa kita masih memiliki ego untuk memiliki. Lepaskan! Di puncak pelepasan akan terlihat cahaya indah yang membimbing. Inilah jiwa yang belajar pulang. Sebuat transformasi besar dari ketakutan menuju kelapangan. Di titik ini terlihatlah bulan purnama. Cahayanya disebut dengan pencerahan. Bagi yang sementara belajar, bagian yang terang itu disebut cinta, bagian gelap di baliknya disebut ketakutan. Namun kedua-duaya berasal dari bulan yang sama, hanya saja bumi berputar.




Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Silahkan Share