Pages

Jumat, 12 Desember 2014

Seni dan Agama

https://encrypted-tbn1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSQcinQMDYR5rhAJjs3spe8dirWISU_OrxysKJoSWbtqhCSTc5JxQ
Teringat lagunya Iwan Fals: “Kalau cinta sudah dibuang, jangan harap keadilan akan datang.” Salah satu bentuk ekspresive dari cinta adalah kepedulian. Menemukan keadilan adalah pekerjaan berat dan tidak mungkin dilakukan kecuali orang-orang yang kuat. Secara radikal manusia sangat bergantung pada cinta. Otak manusia terdesain untuk memberikan kepedulian sekaligus menerima kepedulian. Saat kepedulian dihilangkan, di saat itulah manusia akan lemah.


Mulailah mendahulukan kepentingan orang lain. Biasanya didahului dengan jatuh cinta atau menjadi orang tua. Saksikanlah “kegilaan” yang sedang jatuh cinta dan  menjadi orang tua. Yang jatuh cinta akan menghabiskan waktu untuk memujanya, memenuhi semua keinginannya. Waktu, tenaga dan pikiran nyaris diberikan kepada orang yang dikasihinya. Yang menjadi orangtua, ayah dan bunda yang kerap tidur sepanjang malam mendadak harus terjaga untuk membelai anaknya dan meredakan tangisannya. Anak, seolah menjadi terapi kejut Tuhan yang didesain untuk mengobati luka egoism dan perhatian yang berlebihan kepada diri sendiri.

Filusuf Konfusius mengatakan bahwa tidak ada seorangpun yang sepenuhnya kosong dari aksi simpati terhadap orang lain. Bahkan manusia tidak membatasi perlakua ltruistiknya itu pada garis keturuanannya yang membawa gennya saja. Respon simpati pada penderitaan orang akan otomatis muncul bahkan hingga kerelaan untuk mengorbankan diri demi orang lain. Itulah yang dikenal sebagai peristiwa heroic:”Lebihbaik aku memotong tanganku sendiri daripada melepaskan tangannya.”

Respon simpati ini diakibatkan oleh “neuron cermin” di wilayah frontal otak. “Neuron cermin”akan menyala pada saat menyaksikan yang lainnya mengalami penderitaaan. Respon otak yang didesain oleh Tuhan untuk menumbuhkan simpati kepada sesama manusia. Tapi dunia modern, menindas sentakan kasih sayang ini dengan membuatnya rusak. Kegilaan akan tumbuh seperti jamur di musim hujan. Aksi pembabakan manusia atas nama teroris menunjukkan hilangnya “neuron cermin” yang menjadi media empati manusia. Meski atas nama agama, tapi sesungguhnya ia semakin jauh dari Tuhan.Tuhan hanya komoditi untuk pembenaran aksi.

Laluilah hari di keluarga, dimana kita membina anak dan istri dengan penuh rasa peduli, saling memberi dukungan, asuhan dan saling mencintai. Belajar menjadi pejalan Tuhan idealnya dimulai dari keluarga. Di luar keluarga, komunitas sufi terdesain tetap sebagai keluarga dimana guru adalah sosok ayah, dan teman sejawat adalah saudara. Teman sejawat yang saling mendukung dan saling menerima akan mempercepat laju spiritual. Kemungkinan manusia untuk memelihara tunas-tunas kasih sayang dapat terjadi jika mekanisme otak reptile dapat ditahan lajunya. Mekanisme “aku duluan” perlambangan dunia binatang yang belakangan ini menghantam dunia secara umum.

Perjalanan mendekat kepada Tuhan sebetulnya adalah perjalanan alami. Ini sebuah seni.Perjalanan ini semacam sebuah evolusi, membutuhkan waktu berjuta tahun. Namun di bawah bimbingan seorang guru, perjalanan ini bisa dipangkas sedemikian rupa.Di situlah seninya. Maka orang bijak selalu berkata,” seni dan agama adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan.” Seni dan kehidupan adalah satu kesatuan. Saat manusia belajar untuk berjalan dan berlari, bentuk evolusinya adalah keterampilan mengolah tubuh menjadi sebuah tarian yang indah. Manusia belajar bahasa untuk mempermudah komunikasi, bentuk evolusinya adalah jutaan puisi tercipta. Belajar mengulurkan tangan terhadap orang lain, bentuk evolusinya adalah kasih sayang tak terbatas kepada seluruh makhluk. Melampaui identitas. Berevolusi dari kepedulian bersyarat menuju kepedulian tak bersyarat, dari egoisme menuju pelayanan dan alturisme.

Semuanya adalah seni. Semunya indah. Meski ada waktunya.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Silahkan Share