Teringat lagunya Iwan Fals: “Kalau cinta sudah dibuang, jangan harap keadilan akan datang.” Salah satu bentuk ekspresive dari cinta adalah kepedulian. Menemukan keadilan adalah pekerjaan berat dan tidak mungkin dilakukan kecuali orang-orang yang kuat. Secara radikal manusia sangat bergantung pada cinta. Otak manusia terdesain untuk memberikan kepedulian sekaligus menerima kepedulian. Saat kepedulian dihilangkan, di saat itulah manusia akan lemah.
Mulailah mendahulukan kepentingan
orang lain. Biasanya didahului dengan jatuh cinta atau menjadi orang
tua. Saksikanlah “kegilaan” yang sedang jatuh cinta dan menjadi orang
tua. Yang jatuh cinta akan menghabiskan waktu untuk memujanya, memenuhi
semua keinginannya. Waktu, tenaga dan pikiran nyaris diberikan kepada
orang yang dikasihinya. Yang menjadi orangtua, ayah dan bunda yang kerap
tidur sepanjang malam mendadak harus terjaga untuk membelai anaknya dan
meredakan tangisannya. Anak, seolah menjadi terapi kejut Tuhan yang
didesain untuk mengobati luka egoism dan perhatian yang berlebihan
kepada diri sendiri.
Filusuf Konfusius mengatakan bahwa
tidak ada seorangpun yang sepenuhnya kosong dari aksi simpati terhadap
orang lain. Bahkan manusia tidak membatasi perlakua ltruistiknya itu
pada garis keturuanannya yang membawa gennya saja. Respon simpati pada
penderitaan orang akan otomatis muncul bahkan hingga kerelaan untuk
mengorbankan diri demi orang lain. Itulah yang dikenal sebagai peristiwa
heroic:”Lebihbaik aku memotong tanganku sendiri daripada melepaskan
tangannya.”
Respon simpati ini diakibatkan oleh “neuron
cermin” di wilayah frontal otak. “Neuron cermin”akan menyala pada saat
menyaksikan yang lainnya mengalami penderitaaan. Respon otak yang
didesain oleh Tuhan untuk menumbuhkan simpati kepada sesama manusia.
Tapi dunia modern, menindas sentakan kasih sayang ini dengan membuatnya
rusak. Kegilaan akan tumbuh seperti jamur di musim hujan. Aksi
pembabakan manusia atas nama teroris menunjukkan hilangnya “neuron
cermin” yang menjadi media empati manusia. Meski atas nama agama, tapi
sesungguhnya ia semakin jauh dari Tuhan.Tuhan hanya komoditi untuk
pembenaran aksi.
Laluilah hari di keluarga, dimana kita
membina anak dan istri dengan penuh rasa peduli, saling memberi
dukungan, asuhan dan saling mencintai. Belajar menjadi pejalan Tuhan
idealnya dimulai dari keluarga. Di luar keluarga, komunitas sufi
terdesain tetap sebagai keluarga dimana guru adalah sosok ayah, dan
teman sejawat adalah saudara. Teman sejawat yang saling mendukung dan
saling menerima akan mempercepat laju spiritual. Kemungkinan manusia
untuk memelihara tunas-tunas kasih sayang dapat terjadi jika mekanisme
otak reptile dapat ditahan lajunya. Mekanisme “aku duluan” perlambangan
dunia binatang yang belakangan ini menghantam dunia secara umum.
Perjalanan
mendekat kepada Tuhan sebetulnya adalah perjalanan alami. Ini sebuah
seni.Perjalanan ini semacam sebuah evolusi, membutuhkan waktu berjuta
tahun. Namun di bawah bimbingan seorang guru, perjalanan ini bisa
dipangkas sedemikian rupa.Di situlah seninya. Maka orang bijak selalu
berkata,” seni dan agama adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan.”
Seni dan kehidupan adalah satu kesatuan. Saat manusia belajar untuk
berjalan dan berlari, bentuk evolusinya adalah keterampilan mengolah
tubuh menjadi sebuah tarian yang indah. Manusia belajar bahasa untuk
mempermudah komunikasi, bentuk evolusinya adalah jutaan puisi tercipta.
Belajar mengulurkan tangan terhadap orang lain, bentuk evolusinya adalah
kasih sayang tak terbatas kepada seluruh makhluk. Melampaui identitas.
Berevolusi dari kepedulian bersyarat menuju kepedulian tak bersyarat,
dari egoisme menuju pelayanan dan alturisme.
Semuanya adalah seni. Semunya indah. Meski ada waktunya.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Silahkan Share