Pada awalnya kau melakukan dzikrullah,
kemudian dzikrullah yang melakukan dirimu,
dan akhirnya hanya ada dzikrullah.
Dzikir
memiliki mekanisme dan daya hidup tersendiri. Sejatinya ia memoles hati menjadi
cermin bening yang dapat memantulkan cahaya Tuhan.
Di dalam
Matsnawi, Jalaluddin Rumi bercerita. Sebuah kompetisi seni digelar di Istana.
Menghadirkan dua seniman terhebat sebagai finalis. Yang satu dari Cina satunya
lagi dari Yunani. Tantangan diberikan kepada masing-masing seniman hebat itu. Masing-masing
diberikan satu dinding istana yang saling berhadapan. Mereka dibebaskan untuk
membuat karya apa saja di dinding itu.
Tirai
dipasang untuk menghalangi mereka berdua untuk saling melihat karya sebelum
benar-benar selesai. Mulailah seniman dari cina memenuhi dinding itu dengan
lukisan yang rumit. Berbahan dari dedaunan emas, bebatuan permata dan cat air
termahal di dunia. Sebaliknya, seniman dari Yunani malah hanya meminta amplas
dan batu apung serta alat-alat sederhana lainnya untuk digunakan menghaluskan.
Setelah
waktu yang ditentukan sudah selesai, Sang Raja pun datang untuk memberikan
penilaian hasil karya kedua seniman itu. Sebuah maha karya diciptakan oleh
seniman dari Cina. Lukisan ditembok itu sangat mempesona. Batu, tanah, air
hewan dan dedaunan terlihat sangat hidup. Menakjubkan bagi mata yang
memandangnya. Sang raja bergumam tanda kagum. Belum pernah sekalipun ia melihat
karya seni seperti itu.
Setelah
selesai, sang Raja pun berpindah ke seniman Yunani. Tirai yaag menutupi dinding
diangkat. Ternyata seniman yang satu ini tidak menggambar apa-apa. Ia hanya
memoles dinding itu sampai halus mengkilat. Cahaya yang memenuhi ruangan itu
membuat dinding itu memantulkan secara sempurna gambar yang ada di depannya.
Gambar yang dibuat oleh seniman dari Cina terlihat jelas di dinding milik
seniman Yunani, bahkan lebih indah.
Begitulah
kisahnya. Rumi ingin mengatakan bahwa cermin hati yang bersih akan memantulkan
kehadiran Tuhan. Seagaimana danau yang tenang, akan memantulkan purnama yang
indah. Keheningan jiwa akan mengantar pemiliknya melihat realitas yang lebih
luas. Itulah jiwa yang teralihkan dari beban masa lampau dan harapan yang akan
datang. Jiwa yang mengubur beban prasangka dan kebencian kepada orang lain
karena pandangannya hatinya selalu melihat Tuhan kepada siapapun yang
dijumpainya.
Guru-guru
sufi selalu mengingatkan untuk tunduk hormat kepada yang lebih tua karena
mereka sudah memiliki waktu yang sangat panjang untuk berinteraksi dengan Tuhan
dan melayani sesama. Tapi juga tunduk hormat kepada yang lebih muda karena
tidak memiliki waktu yang panjang untuk berdosa. Diakui bahwa ada nafsu yang
bersikukuh untuk menganggap dirinya lebih baik dan selalu berpikir sebaliknya
sebaliknya:”usianya tidak setua aku jadi mereka tidak sealim dan secerdas aku.
Usianya lebih tua dariku, ia pasti sudah banyak melakukan dosa.”
Pandangan
hati yang selalu memantulkan citra Tuhan kepada siapa dan apapun akan
membimbing manusia untuk selalu tunduk pada kehidupan. Semakin dalam citra
Tuhan di kedalaman hatinya maka semakin hening jiwanya. Menjadi lafaz zikir
yang tidak berputus. Para tetua kita dulu sering mengistilahkannya dengan:
Zikir yang berkesinambungan, Wudhu yang tidak pernah batal.
Relasi dzikir
seperti ini bisa dibangun dengan sangat sempurna. Seluruh kehendak dibangun
atas dasar mengingat. Seperti membimbing lidah jiwa untuk melafaz dzikir.
Setelah itu, bayi jiwa yang sudah dewasa akan melafaz sendiri tanpa perlu
bimbingan. Setelah itu yang terlihat hanyalah dzikir dimana-mana. Tuhan hadir
di setipa kehidupan.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Silahkan Share