Pages

Rabu, 22 April 2015

Di sana jua dermaga lahirmu....

Laksana air di gurun pasir
Sejukkan jiwa yang kehausan
Di sepanjang keruh rapuhnya dunia
Ku selalu merindukan belai-Mu
Ku ingin Kau slalu bertahta dalam kalbuku

Sementara ini saya merenungi lagu yang dilantunkan oleh Ada Band. Lagu lama memang tapi begitu sarat makna. Hidup seumpama gurun tandus yang kering kerontang. Air yang terpancar dari sumur galian akan mengubah gurun tandus menjadi oese hijau nan subur. Kata Wilhem Reich, kehidupan manusia dalam keterasingan gurun tandus menyebabkanya membuat semacam mekanisme pertahanan diri. Seperti seorang ksatria yang mengenakan baju zirah di medan tempur: siap melawan. Maka dunia terbakar. Kritikan dilawan dengan kritikan, celaan dilawan dengan celaan, hinaan dibalas dengan merendahkan. Sayangnya, semakin kita melawan maka semakin terluka.

Di gurun tandus, meski kelihatan tak ada tanda kehidupan namun sebenarnya di dalamnya menyimpan banyak sekali benih. Bila letakkan  sebuah wadah berisi air, ada lubang yang membuat air menetes sedikit demi sedikit. Saksikan seminggu kemudian, akan tumbuh tunas hijau. Kehidupan yang kering-kerontang jika disirami dengan air spiritual akan membuatnya perlahan hidup, tumbuh lalu menjadi rindang.

Ada yang mengatakan bahwa perjalanan rohani juga merupakan perlawanan. Hanya saja bentuk perlawanannya lebih mengarah ke pencarian di kedalaman, menemukan air spiritual yang menjadi oase kehidupan. Sementara perlawanan yang kebanyakan lebih mengarah ke pencarian ke luar. Ada yang mencarinya di diskotik, buku-buku ilmiah, atau di tempat-tempat tamasya. Sebagian mereka mengaku menemukan sebuah kehidupan, tapi tanpa sadar jika mereka sesungguhnya memandangnya dalam mata ilusi. Perjalan ke dalam, bukan membuat luka tapi justru menyembuhkan luka. Mereka yang tekun melakukan penggalian akan bertemu wajah dalam keheningan tanpa kemarahan, tanpa dengki, tanpa penyakit hati lainnya.

Tasawuf mengajari untuk melakukan perjalanan secara terbalik: Muara ke hulu. Penggalian yang berseberangan dengan kebanyakan. Sehingga siapapun yang mencoba mendayung perahu batin ke hulu akan merasakan keganjilan, bahkan kesulitan. Menemukan rumah ibadah di sana yang dibangun oleh tangan Tuhan lebih sulit dari sekadar merapatkan kening di rumah ibadah yang dibangun oleh tangan manusia. Orang yang menemukan rumah ibadah di kedalaman, mereka tidak sekadar mempersimpuhkan raga yang ditandai dengan rapatnya kening di tanah, tapi lebih dalam dari itu: Bersimpuhnya kehidupan di hadapan  Zat Yang Maha Agung, dengan keindahan. Seperti lirik syair Ada Band berikut ini:

Kemana kapalmu kan berlabuh
Disana juga kau bermuara
Kemanapun hidupmu kau arahkan
Disanalah dermaga akhirmu
Yakinlah Dia bersemayam dalam hatimu

Dibutuhkan kesabaran untuk menggali ke dalam. Serupa penggali sumur,  butuh beberapa meter di kedalaman untuk mendapatkan air yang menyembur keluar. Rehat sejenak boleh, demi menghimpun tenaga. Rehat terlalu lama akan beresiko, menjadikan lubang galian tertimbun tanah lagi. Ketika percik cahaya agung mengenai batin, akan terlihat semesta diterangi cahaya, tanpa ampun. Jika para petani mengubah gurun menjadi lahan pertanian subur dengan cara mengairinya, maka para kekasih Tuhan mengubah kehidupan yang kering kerontang dengan air spiritual. Yang sampai di sini akan dapat bernyanyi seperti yang dilantunkan Ada Band:

Kau hadir di setiap hela nafasku
Hangat alirkan butiran darahku
Betapa suci dan agung cintaMu
Tak sanggup nalarku memikirkanMu
Ku ingin Kau selalu bertahta dalam bathinku

Bimbinglah aku dalam pelukanMu
Jangan lepaskan lagi
Izinkanlah malaikat menjagaku dari kelamnya nafsu dunia
Bawalah aku ke jalan cahaya terang kerajaanMu
Jadikan mimpiku jelas sempurna menyatu dalam istana surga

Comments
1 Comments

1 komentar :

Silahkan Share