Pelayanan itu kata lain dari cinta. Ia mendidik melampaui zaman dari sebuah system. Melatih respon dan membentuk kebiasaan mental yang terlihat ramah, lembut dan tidak menakuti yang lainnya. Kekuatan dari dalam yang tergiring keluar itu sifatnya menyembuhkan kehidupan.
Pelayanan adalah kekuatan yang dapat dipelajari. Namun hanya dapat dimengerti saat melakukannya. Seperti mereka yang baru dapat benar-benar mengerti tentang cara mengendarai motor saat benar-benar mencoba mengendarainya sendiri. Atau berenang dengan cara mencemplungkan diri ke dalam kolam. Kekuatan pelayanan bahkan berpeluang mengubah semuanya bahkan hingga ke susuan syaraf bahkan hingga ke gen kita. Watak yang tumbuh dalam tradisi mengedepankan ego secara perlahan lenyap tanpa bekas. Tamsil yang paling mudah dimengerti adalah saat kita memiliki beberapa piring makanan lezat. Jika kebahagiaan diletakkan pada perut maka paling banyak yang bisa ditampung adalah dua hingga tiga piring makanan. Namun jika kebahagiaan diletakkan pada pelayanan kepada manusia dengan cara berbagi, maka berapa banyak manusia yang membutuhkan? Berapa lama kita bisa mengecap kebahagiaan. Itulah rumus tua yang dilupakan. Itu pulalah sebabnya mengapa mereka yang mengabdikan hidupnya untuk melayani tak pernah hilang dari wajahnya senyuman.
Literatur agama ini mengajari pemeluknya untuk melayani. Menyebut mereka yang tidak memiliki luka tergores walau sedikit saja di dadanya dengan pendusta agama. Walau ia ahli shalat sekalipun. Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Maka itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin.Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap shalatnya, dan enggan (memberikan) bantuan kepada mereka.
Ada mekanisme otak dan kerja hormon yang menimbulkan reaksi pelayanan. Mesti mekanisme itu tidak sekuat instingtual primitive di otak tengah. Sebab ia adalah jawaban reflex terhadap suatu rangsangan dari luar demi mempertahankan kelangsungan hidup. Para guru tasawuf selalu bercerita tentang penataan ulang pikiran-pikiran kita dengan membuat jarak antara nurani dengan insting hewani yang merusak itu. Bagi mereka yang berhasil membuat jarak ini, semakin jauh jaraknya maka semakin muaklah ia dengan konflik. Konflik itu adalah dualitas tentang ―Aku‖ dan ―Kau‖, sementara nurani menginginkan penyatuan. Lelucon itu terdengar merdu: semua manusia menginginkan Tuhan namun bertengkar tragis seperti iblis yang tidak menginginkan penyatuan.
Sebetulnya, otak tengah hanya seolah-olah menjadi jawaban reflex untuk mempertahankan diri. Konon ia akan bekerja sangat buas ketika tak diberi pilihan lain. Fight or flight. Atau mungkin Tuhan memberi keseimbangan yang lebih manusiawi. Ia juga jawaban reflex terhadap sebuah rangsangan. Bayangkan kita berdiri di sebuah tempat. Menyaksikan seorang bayi menangis meraung-raung berayung-ayung hendak terjatuh di bibir sumur. Jawaban reflex kita adalah menolongnya tanpa mempertanyakan identitasnya. Ada kekuatan yang lebih dari sekadar insting dari dalam yang menghambur keluar memaksa untuk bertindak penuh cinta.
Educere, dalam bahasa latinnya. Sebuah pola pendidikan Tuhan lewat jalur fitrah. Dari mana memulainya? Manusia terlanjur kecanduan egoism. Seolah segala hal yang terjadi di dunia ini tidak akan bisa selesai kecuali dengan kebencian dan prasangka. Penjelmaan yang benar-benar sempurna. Kebatilan itu muncul dan mengaku sebagai kebenaran nyaris tanpa cela. Manusia benar-benar ditipu. Dunia tanpa kekejaman adalah rumus tua yang mulai ditertawakan. Sumber daya alam yang semakin sedikit sementara pemangsa sumber daya alam melonjak tak terbendung adalah alasan rasional untuk memangkas jumlah penduduk dunia. Penyakit menular dan peperangan adalah dewa yang dipuja, sebagai jawaban dari keterbatasan makanan yang akan mengisi ruang perut
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Silahkan Share