Pages

Jumat, 12 Juni 2015

Dedaun yang jatuh

Serupa diterjunkan ke sebuah medan pertempuran, tidak ada pilihan lain kecuali perperang. Berdiam diri atau berpura-pura seolah tidak terjadi pertempuran adalah pekerjaan bodoh. Diam berarti terbunuh, sedangkan melawan masih memiliki beberapa kemungkinan menang, kalah atau draw.

Memang terlalu mengerikan jika perjuangan batin disebut dengan pertempuran. Kebenaran itu tidak mengerikan tapi menyejukkan. Hanya saja seseorang tidak boleh berpura-pura diam seolah tidak ada kecamuk di batin. Seperti kuda liar yang butuh ditambatkan lalu dipelihara. Seperti bandul yang berayun-ayun ke kiri dan ke kanan. Saat bandul bisa didiamkan, maka di saat itulah keheningan menyelimuti.

Pesona batin yang hening akan menghadirkan kebenaran yang menyejukkan. Akan terdengar kembali suara-suara yang terabaikan, suara nurani yang tenggelam dalam hiruk-pikuk bicara di kepala. Akan terlihat sebuah penyaksian yang mengagumkan, factor bahagia dan derita dalam versi kepala ternyata hanya sebuah ilusi. Ibnu Athaillah al-Iskandari mengingatkan untuk tidak merasa ganjil dengan penderitaan yang nampak. Apa yang nampak sebagai penderitaan ataupun kebahagiaan, maka seperti itulah adanya. Belajar menikmat tanpa keluhan. Sungai yang mengalir, dedaunan yang jatuh, matahari yang terbit tenggelam, awan yang berarak, hujan yang turun, seluruhnya adalah peristiwa yang alami. Jika pun harus terjadi maka akan terjadi. Seperti itu pulalah silih bergantinya penderitaan dan kebahagian, pujian dan cacian, kekayaan dan kemiskinan, kehidupan dan kematian, seluruhnya adalah peristiwa yang alami. Jikapun  harus datang maka akan datang, pada waktu dan tempat kejadian yang sempurna. Tidak ada yang ganjil.

Salah satu makna Islam adalah pasrah total,  ikhlas sempurna di hadapan Tuhan. Seluruh kehendak manusia lebur dalam kehendak Tuhan. Selayaknya pohon yang berdiri apa adanya, namun dalam diam ia bergerak mendekati cahaya dengan keikhlasan sempurna. Kepasrahan total seperti ini dapat terjadi jika saja tidak ada lagi keinginan, tidak ada lagi masa lalu yang disesali, tidak ada lagi masa depan yang menghantui. Yang tersisa hanya keikhlasan sempurna di masa kini yang abadi. Atau dalam bahasa Ibnu Athaillah: mengistirahatkan diri dalam mengomentari urusan dunia. Urusan yang telah diatur oleh Tuhan sedemikian rapi dan sempurna tidak perlu sibuk untuk turut campur. Jika begini akan bertemu ahwal batin yang apa adanya dalam penyaksian.Sebuah batin yang sepi dan sunyi, yang tersisa adalah senyuman bahwa Tuhan benar-benar  hadir di setiap peristiwa alam. 

Sayangnya ego mengajari untuk menghakimi setiap kejadian, mengomentari setiap malapetakan dan menangisi setiap kepedihan. Ego mengajari semua itu seolah bukan peristiwa yang wajar. Inilah pertempurannya jika pun harus dianggap pertempuran. Dalam pertempuran ini, kita memiliki modal utama, yaitu bergantung sepenuhnya kepada Tuhan. Dialah yang menuntun kaki untuk dapat berjalan menujun-Nya.

Ikhtiar lain yang bisa dilakukan adalah: Pertama, belajar melihat di kedalaman, misi kenabian adalah rahmat bagi seluruh alam, maka semua makhluk berhak bahagia dengan sentuhan agama, tidak ada satupun yang menginginkan derita. Mencitai setulusnya, bila belum bisa maka cukup dengan tidak menyakiti. Kedua, menikmati langkah keseharian dalam kesadaran yang sempurna. Sampai ketemu waktu yang berputar tanpa rasa, di tempat kerja serasa melakukan rekreasi. Atau memimjam ajaran Guru Zen: Sejatinya tidak ada sampah kesialan di kehidupan ini, semuanya hanyalah bahan yang tengah berproses menjadi bunga. Ketiga, semua kejadian serupa gelombang yang

Comments
2 Comments

2 komentar :

Silahkan Share