Mengurangi Narsisme

 Semua manusia menginginkan Tuhan, tapi bertengkar seperti iblis yang menghindari penyatuan

Mengurangi sifat egois dan belajar mencintai, itulah sesungguhnya misi manusia di sini. Kedua hal tersebut saling berkaitan. Semakin hilang sifat egois maka kemampuan mencintai orang lainpun semakin besar. Dalam pengembangan jati diri manusia, inilah yang terus diasah.  Bersifat paradoksial memang, sebab manusia terlahir telah belajar mempersepsi dunia diluar sana yang terpisah dengannya. Bagi bayi, hanya ada dua kategori: aku dan bukan aku. Perjuangan untuk melawan sifat bawaan inilah menjadikan jalan spiritual terasa special sekaligus berisi ketidakmungkinan yang besar bagi yang meragukannya. Betapa tidak, mengubah persepsi bawaan membutuhkan daya juang yang tinggi dan kesabaran di dalam kesabaran.

Ketika bayi bertambah usia, kemampuan mengawasi duniapun semakin canggih lalu memanipulasinya. Hasilnya, ketika dewasa manusia menajadi semakin narsis. Para ilmuwan ahli saraf meyakini bahwa bibit narsisme melekat secara turun temurun pada pikiran pria dan wanita demi medapatkan empat hal dasar dalam hidupnya yaitu makanan, melawan, menyelamatkan diri/kabur dan sex.. Egoisme itu berakar pada “otak tua” yang diwariskan secara berantai pada kisaran 500 juta tahun yang lalu. Sistem itu terletak pada hipotalamus di dasar otak. Emosi yang dimunculkan dari sini selalu berbicara “semua tentang aku”. Mirip seperti binatang yang bersaing tanpa ampun untuk mendapatkan makanan, menangkal ancaman, mendominasi wilayah, mencari tempat yang aman dan melestarikan spesies.

Untungnya Tuhan menciptakan system lain di otak manusia yang di sebut neokorteks yang berfungsiseolah sebagai penyeimbang  hipotalamus.Keinginan untuk mendapatkan empat hal dasar itu didapatkan dengan cara yang lebih bermartabat karena fungsi otak ini. Dari sudut pandang ini pun kita menyaksikan sebuah pertarungan yang bersifat khas diwilayah otak manusia, antara hipotalamus dan neokorteks.

Dari sudut pandang yang berbeda, Rumi menggambarkan perkembangan jiwa secara berbeda pula.Pada tahap awal, disebut dengan  jiwa vegetative. Lihatlah tumbuhan! Hakikatnya ia tidak pernah mencintai matahari. Kebutuhan terhadap cahaya matahari hanya sebabatas tanggapan naluriahnya. Seperti janin yang berada di dalam rahim berkembang layaknya tanaman. Respon yang dimilikinya sangat sederhana. Bukan cinta dalam pengertian hakiki.

Tahapan kedua disebut jiwa hewani. Sekilas ditemukan cinta di sini. Ada induk hewan yang rela mengorbankan dirinya demi keselamatan anak-anaknya. Bisa disaksikan amukan induk ayam ketika merasa anak-anaknya terancam keselamatannya. Anak-anak kucing yang mendapatkan belaian dari induk kucing saat menyusuinya.

Tahapan yang ketiga disebut dengan tahapan pramanusia. Sebagaimana namanya, di tahap ini seseorang belumlah menjadi manusia seutuhnya. Di tahap inilah ego  berkembang seiring dengan perkembangan indria dan kemampuan memahami dunia sekitar. Menurut Freud, ciri ego adalah selalu menghamba pada prinsip kenikmatan dan keinginan untuk menguasai dunia luar. Maka ego begitu mengingkari penyatuan, ia selalu berbicara dan mendorong keterpisahan.

Manusia diberi pilihan, bergerak menuju penyatuan atau bergerak menuju keterpisahan. Bergerak menuju penyatuan, di situlah jalan tasawuf berperan. Seperti cermin yang pecah merepleksikan ratusan bayangan dari satu objek, tapi apabila cermin dapat diperbaiki, disusun sebagaimana semula maka kita akan mendapati ia hanya memantulkan satu obyek bayangan. Di sinilah hati yang telah hancur berkeping-keping dirangkai sebagaimana layaknya cermin yang retak itu. Di saat kepingan hati itu utuh maka terjemahan hidup selalu mengatakan: Kita Satu. Tidak ada "aku" atau "kau", yang ada adalah “kami atau kita”. Inilah tahapan perkembangan jiwa manusia di tingkat akhir, menurut Rumi.