Pages

Senin, 06 Oktober 2014

Bimbingan dari dalam



Serupa dengan ikan yang mestinya hidup di samudra yang luas di taruh di kolam yang sempit. Serupa burung yang terbang bebas di angkasa dikurung di dalam sangkar. Serupa itulah hidup yang tidak di letakkan di tempat yang semestinya: resah, pemberontakan, kerinduan bergabung menjadi menu keseharian kehidupan.

Kehidupan itu takdir yang mesti di jalani, dimanapun tempat yang Tuhan takdirikan. Selalu ada tempat dimana kita bisa berdamai dengan keadaan. Mata selalu tertuju ke luar menyaksikan kehidupan dengan ragam intriknya, tapi lupa menoleh ke dalam menyaksikan sebuah rumah di mana dialog dapat menghubungkan kita dengan kehidupan tanpa luapan kemarahan dan penyesalan. Efek yang luar biasa melanda kehidupan adalah hilangnya tempat rehat manusia yang sesungguhnya. Agama hanya menjadi komoditi sebuah komunitas yang juga bingung. Terjebaklah kita berdialog tentang Tuhan yang tenggelam di sebuah tempat yang antah-berantah, berbicara tentang Tuhan yang hilang. Lebih dari itu, bagi orang yang muak menyaksikan itu semua, Tuhan dimasukkan ke keranda dengan menyebutnya sebagai Tuhan yang mati. Na’udzubillah.


Intrik kehidupan di luar adalah persaingan dan perbandingan. Kerasnya persaingan dan perbandingan menjadikan semakin terasing dengan diri sendiri. Makhluk yang berjalan tanpa kenal lagi siapa dirinya. Ajaran sufi mencoba mengembalikan semuanya seperti sedia kala: Siapa yang mengenal dirinya maka dia akan mengenal Tuhannya. Namun kerasnya intrik kehidupan membuat sebagian besar manusia semakin terasing dengan dirinya. WHO pernah meramalkan nasib dunia beberapa tahun ke depan. Begitu mengkhawatirkan. Sakit jiwa akan merebak seiring waktu berjalan. Tanda-tandanya sudah Nampak: Bunuh diri, menaiknya angka penghuni rumah sakit jiwa, bertumbuhnya jumlah anak-anak yang autis. Cepat atau lambat semua kita akan terjangkiti sakit yang sama jika tidak terobati.

Tekstur di dalam jiwa itu bertingkat. Itulah rumah rehat sesungguhnya. Ajaran agama ini menyediakan tempat khusus untuk kembali berehat di rumah sesungguhnya. Seperti ikan yang kembalikan ke samudra atau burung yang dikembalikan ke angkasa. Berdo’a, Shalat ataupun Zikir adalah mediator. Di sana diajarkan untuk hening sejenak(khusyuk) mencoba mendengar suara-suara dari dalam. Mengajari  pikiran untuk berhenti berbicara dan biarkan hati membimbing ke hening sempurna. Serupa dengan menguliti lapisan-lapisan bawang merah. Semakin dalam seseorang mengupas, semakin cemerlanglah wajah kehidupan terlihat. Bukan karena kehidupan memang telah berubah seketika, tapi cara memandang kehidupan itulah yang membuatnya berbeda.

Itulah jalan para pejalan. Jalan lurus yang digambarkan al-Quran bukanlah jalan yang lurus memanjang tak berujung. Filosofi al-Quran bahwa kita dari-Nya dan kepada-Nya akan kembali menegaskan bahwa perjalanan kita adalah perjalanan melingkar. Maka sesungguhnya kehidupan adalah perjalanan menuju kesempurnaan. Wajah-wajah kehidupan yang disaksikan beraneka ragam bagi yang telah tercerahkan hanyalah lidah Tuhan yang memberi bimbingan tentang bagaimana cara untuk kembali. Kehidupan bukanlah hukuman, tapi semacam berkah yang memiliki tekstur berlapis-lapis. Yang pandai menyelami ke kedalaman, ia akan dibimbing kearahn-Nya. Di kedalaman ini, semua dualitas (baik-buruk, surge-neraka,cantik jelek-naik-turun, lahir-mati dll) akan tenggelam ditelan rahmat yang menyatukan.Tiba-tiba pohon sejuk kehidupan memayungi semuanya tanpa terkecuali. Bukankah sungai mengalir dapat menyuburkan semua yang dilaluinya? Atau seperti bumi yangmenyediakan tempat untuk semua makhluk berada di atasnya.



Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Silahkan Share