Pages

Sabtu, 18 Oktober 2014

Di Tepian Sungai


Dalam Muqaddimah Matsnawi, Rumi bersenandung dengan indah:



Dengarlah lagu seruling bamboo menyampaikan kisah pilu perpisahan
Tuturnya, “sejak aku berpisah dengan asal-usulku pokok bamboo yangrimbun, ratapku membuat lelaki dan wanita mengaduh.

Dalam pilu hari-hari hayat kami berlalu tak kenal waktu hari-harikami berjalan bersama kepiluan membara.


Di balik sebuah benteng ada sungai mengalir. Jernih airnya. Suara gemericiknya menemani hari-hari seseorang yang tengah berbaring  di atas sebuah benteng. Dia kehausan, sementara dinding tebal menghalanginya untuk mendapatkan air di sungai itu.Bagaimanakah derita seekor ikan yang dipisahkan dengan air? Begitulah gundahnya di atas benteng itu, putus harapan.

Teringat kisah, konon dahulu kala sebelum dunia digulung dengan alat komunikasi canggih. Kerinduan kepada sang kekasih itu diobati dengan mendatangi ketinggian. Di atas ketinggian itulah disenandungkan nyanyi rindu sembari memandangi rumah sang kekasih. Walaupun sekadar menatap atapnya, itu sudah menggetarkan baginya. Mengapa tidak mendatangi? Sebab dahulu adab lebih didahulukan dari nafsu.

Teringat dengan sebuah lagu yang pernah popular di zamannya dinyanyikan oleh Muhsin Alatas: “di antara hatimu-hatiku terbentang dindingyang tinggi. Tak satu jua jendela di sana agar kumemandangmu.”

Gemercik air samar-samar di dengar oleh orang yang tengah kehausan itu. Ia penasaran, sepertinya sebuah rindu akan segera terjawab. Dia mengambilbatu kerikil lalu melemparkannya ke dalam sungai. Ada suara percikan yang lebih keras terdengar indah di telinganya. Ada harapan, ada semangat.

Cinta memberi kekuatan. Ia merobohkan tembok itu sedikit demi-sedikit. Mulailah batu-bata di pukul, dipalu atau diapapun agar roboh. Setiap bongkahan batu yang terjatuh ke dalam sungai semakin jelaslah percikannya, semakin bahagialah ia. Baginya ia mendapatkan dua kebahagian ketika merobohokan tembok itu. Tidak hanya suara gemercik air yang menghidupkan hati dari kemeranaan tapi juga setiap bongkahan batu yang terjatuh akan lebih memberi peluang baginya untuk bertemu dengan sungai. Mencicipi segarnya airnya.Menikmati indahnya pinggirannya yang ditumbuhi pepohon rindang sejauh mata memandang. Sepertinya pohon itu mencicipi air dari sungai yang sama.

Tembok adalah tamsil hijab. Ia menghalangi para pejalan Tuhan untuk bertemu dengan-Nya, mengungkap segala rahasinya. Sebenarnya manusia adalah perindu yang kata Rumi, seperti suara seruling adalah nyanyian kerinduan untuk kembali ke rerimbun bambu. Perhatikan bayi yang baru lahir, mengapa dia menangis di saat yang di sekitarnya tersenyum? Sebab kehidupan di Rahim adalah kehidupan bercengkrama dengan Tuhan. Lalu keterpisahan itu membuat luka dan kitapun menangis.

Seiring waktu, suara tangisan itu tidak lagi diartikan sebagai rasa sakit karena keterpisahan. Air susu, makanan, harta benda,sahabat dll berbicara bahwa dirinyalah jawaban dari rasa sakit. Dunia berbohong.Semakin dimiliki, semakin membuat dahaga. Padahal jauh di lubuk nurani terdalam,Tuhanlah yang sebenarnya dicari.

Taubat itu berarti kembali. Yang bersungguh-sungguh taubatnya akan menangis. Itu tangis kerinduan. Yang bersungguh-sungguh zikirnya  menangis. Yang bersungguh sungguh ibadahnya akan tersedu-sedu tersungkur merenda. Itutangis kerinduan. Tanda kembalinya seorang hamba kepada Tuhan yang selama inidibuat jarak oleh dunia yang menipu.

Akhirnya di tepian sungai seorang hamba merobohkan dinding-dinding keangkuhan dan kesombongan. Merobohkan dinding-dinding maksiat agar bisa mencicipi air keberkahan sebagaimana pohon-pohon yang tumbuh subur di tepian sungai.


Terakhir, kita dengar lagi senandung Rumi:
Kalaulah hari- hari kami mesti pergi, biarlah ia pergi! Kami tidakpeduli.
Kekallah Kau, sebab tiada sekudus Kau


Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Silahkan Share