Pages

Senin, 06 Oktober 2014

Cermin Hati

Pada awalnya kau melakukan dzikrullah,  
kemudian dzikrullah yang melakukan dirimu,dan akhirnya hanya ada dzikrullah.

Dzikir memiliki mekanisme dan daya hidup tersendiri. Sejatinya ia memoles hati menjadi cermin bening yang dapat memantulkan cahaya Tuhan.

Di dalam Matsnawi, Jalaluddin Rumi bercerita. Sebuah kompetisi seni digelar di Istana. Menghadirkan dua seniman terhebat sebagai finalis. Yang satu dari Cina satunya lagi dari Yunani. Tantangan diberikan kepada masing-masing seniman hebat itu. Masing-masing diberikan satu dinding istana yang saling berhadapan. Mereka dibebaskan untuk membuat karya apa sajadi dinding itu.

Tirai dipasang untuk menghalangi siapapun yang akan melihat kedua hasil karya seni itu. Mulailah seniman dari cina memenuhi dinding itu dengan lukisan yang rumit. Berbahan dari dedaunan emas, bebatuan permata dan cat air termahal di dunia. Sebaliknya, seniman dari Yunani malah hanya meminta amplas dan batu apung serta alat-alat sederhana lainnya untuk digunakan menghaluskan.

Setelah waktu yang ditentukan sudah selesai, Sang Raja pun datang untuk memberikan penilaian hasil karya kedua seniman itu. Sebuah maha karya diciptakan oleh seniman dari cina. Lukisan ditembok itu sangat mempesona. Batu, tanah, air hewan dan dedaunan terlihat sangat hidup. Menakjubkan bagi mata yang memandangnya. Sang raja bergumam tanda kagum. Belum pernah sekalipun ia melihat karya seni seperti itu.

Setelah selesai, sang Raja pun berpindah ke seniman Yunani. Tirai yang menutupi dinding diangkat. Ternyata seniman yang satu ini tidak menggambar apa-apa. Ia hanya memoles dinding itu sampai halus mengkilat. Cahaya yang memenuhi ruangan itu membuat dinding itu memantulkan secara sempurna gambar yang ada di depannya. Gambar yang dibuat oleh seniman dari Cina terlihat jelas di dinding milik seniman Yunani, bahkan lebih indah.

Begitulah kisahnya. Rumi ingin mengatakan bahwa cermin hati yang bersih akan memantulkan kehadiran Tuhan. Seperti danau yang tenang, akan memantulkan purnama yang indah. Keheningan jiwa akan mengantar pemiliknya melihat realitas yang lebih luas. Itulah jiwa yang teralihkan dari beban masa lampau dan harapan yang akan datang. Jiwa yang mengubur beban prasangka dan kebencian kepada orang lain karena pandangannya hatinya selalu melihat Tuhan kepada siapapun yang dijumpainya.

Guru-guru sufi selalu mengingatkan untuk tunduk hormat kepada yang lebih tua karena mereka sudah memiliki waktu yang sangat panjang untuk berinteraksi dengan Tuhan dan melayani sesama. Tapi juga tunduk hormat kepada yang lebih muda karena tidak memiliki waktu yang panjang untuk berdosa. Diakui bahwa ada nafsu yang bersikukuh untuk menganggap dirinya lebih baik dan selalu berpikir sebaliknya sebaliknya: ”usianya tidak setua aku jadi mereka tidak sealim dan secerdas aku. Usianya lebih tua dariku, ia pasti sudah banyak melakukan dosa.”

Pandangan hati yang selalu memantulkan citra Tuhan kepada siapa dan apapun akan membimbing manusia untuk selalu tunduk pada kehidupan. Semakin dalam citra Tuhan di kedalaman hatinya maka semakin hening jiwanya. Menjadi lafaz zikir yang tidak berputus. Para tetua kita dulu sering mengistilahkannya dengan: Zikir yang berkesinambungan, Wudhu yang tidak pernah batal.

Relasi dzikir seperti ini bisa dibangun dengan sangat sempurna. Jika saja seluruh kehendak kita dibangun atas dasar mengingat. Seperti membimbing lidah jiwa untuk melafaz dzikir. Setelah itu, bayi jiwa yang sudah dewasa akan melafaz sendiri tanpa perlu bimbingan. Setelah itu yang terlihat hanyalah dzikir dimana-mana. Tuhan hadir di setipa kehidupan.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Silahkan Share