Pages

Sabtu, 25 Oktober 2014

Dunia dalam genggaman, tapi tidak di hati


al-Kisah, hiduplah seorang Syekh yang sangat zuhud. Ia dikenali sebagai perangai yang luar biasa zuhudnya. Ia memiliki begitu banyak murid yang hebat pula. Hari-harinya diisi dengan munajat panjang tanpa henti. Pekerjaannyapun sangat sederhana, sekadar cukup untuk makan hari itu.


Pekerjaan Syekh ini adalah memancing di sungai untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Ini dilakukan setiap harinya. Uniknya, dia tidak mengambil keseluruhan bagian ikan yang didapatkannya. Ia hanya mengambil kepala ikannya kemudian badan ikannya dibagikan kepada orang yang membutuhkan. Dikenallah ia dengan gelar Syekh Kepala Ikan.


Suatu hari ia meminta salah seorang muridnya untuk menemui gurunya yang berada di kota. Sudah sangat lama ia tidak mendengarkan nasihat gurunya.Hanya karena kesibukannya untuk memancing demi melayani orang-orang di sekitarnya dengan ikan hasil pancingannya maka ia tidak bisa menemui gurunya secara langsung. Si murid bersedia.


Berangkatlah si Murid ke kota untuk menemui guru dari gurunya itu. Ia mendatangi rumah sebagaimana petunjuk gurunya. Sampai di depan pagar,  ia tersentak. Di dapatinya sebuah rumah bak istana megah. Di jalanannya dibentangkan permadani-permadani mahal. Taman-tamannya dihiasi dengan pancuran air dan lampu-lampu mahal. Di sana-sini penjaga bersileweran. Ia ragu, ini bukanlah rumah yang hendak dituju. Tidak mungkin gurunya memiliki guru yang hidupnya dalam kefoya-foyaan harta sementara muridnya mengajarkan tentang kezuhudan.


Di tengah keraguannya, ia ditanya oleh salah seorang penjaga. Ia menjelaskan bahwa ia diutus untuk menemui guru yang bernama Syekh Fulan bin fulan. Si penjaga mengiayakan bahwa tempat inilah yang dituju. Ia lalu diantarkan menghadap kepada Syekh tersebut. Setelah menjelaskan asal-usulnya,ia lalu menyampaikan hajatnya.
“Apa hajatmu?” Tanya syekh tersebut.
“Guruku yang bernama Fulan bin Fulan meminta anda untuk memberinya nasihat melalui aku,”
“Kalau begitu kembalilah ke gurumu, sampaikanlah bahwa gurumu memberikan nasihat untuk berlaku zuhud terhadap dunia,” kata syekh itu dengan mantap.


Sang murid ini pun pulang dengan penuh kebimbangan. Bagaimana mungkin dirinya dinasihati agar menjauhi dunia sementara si pemberi nasihat sendiri memiliki kekayaan yang berlimpah.


Ia menghadap ke gurunya lalu menceritakan seluruh ihwalnya.Termasuk segala kebimbangannya terhadap apa yang disaksikannya. Gurunya tertawa.
“Begitulah hebatnya guruku, saat dunia berada di tangannya ia tetap bisa berlaku zuhud. Sangat berbeda denganku, betapapun telah kujauhi dunia tapi masih saja dunia membuatku terkesan. Bukankah Sulaiman juga adalah seorang nabi yang dilimpahi kekayaan yang tak terbatas. Bisakah kita menuduh nabi Sulaiman sebagai orang yang tidak berlaku zuhud dengan dunia?” Jelas gurunya.


Apa yang kau miliki, sementara tak satupun bisa kau ciptakan. Di dunia ini tak ada yang bisa dimiliki, dan semuanya tidak memiliki dirimu juga. Yang berhak memiliki adalah Allah, dan dirimu tidak dimiliki oleh selain-Nya.


Tradisi Tasawuf mengajarkan seperti itu: tak ada kepemilikan. Yang ada adalah asahan menuju ke kesempurnaan. Untuk beberapa abad, para sufi diidentikkan dengan pakaian kumuh dan hidup dalam kemelaratan karena tak punya apa-apa. Lalu digelarilah si Faqir. Mungkin saja itu benar sebagai gerakan pemberontakan terhadap hidup glamour yang berada di zamannya. Ia ingin memberikan kesan kepada manusia bahwa ketiadaan harta bukanlah berarti tak dapat hidup bahagia. Kini tibalah saatnya di mana sufi harus menguasai perekonomian, pemerintahan, social dan di segenap lini kehidupan. Ini demi mengajari kita bahwa dekat dengan harta dan jabatan tak lantas membuat jauh dari Tuhan.


Sufi adalah orang yang tidak memiliki dan tidak dimiliki. Saat dunia ada dalam genggaman, tapi tidak sampai merasuk di hati.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Silahkan Share