Pages

Senin, 06 Oktober 2014

Olah Kehidupan


Peradaban semakin jauh dari sikap rahmat. Palestina yang memiliki akar peradaban kenabian yang harus membara dengan peperangan yang tak pernah berhenti. Timur tengah secara umum terus-terus menumpahkan darah di bumi yang jejak para nabi dan pengikutnya pernah bertumpu di situ. Di sini saya sedang tidak mencoba mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Juga tidak mengatakan bahwa para nabi suci yang dikirim Tuhan telah gagal menyadarkan ummat. Hanya saja bumi jejak para nabi ini sedang berdiri sebuah monument kesedihan. Seolah kitab suci semuanya habis terbakar oleh kebencian dan keserakahan. Kita patut meratapinya. Andai saja seluruh nabi dihidupkan kembali di sana (salam dan shalawat untukmereka semua), apa yang mereka akan katakan?


Amerika Serikat yang konon menjadi induk demokrasi dan kemanusiaan(HAM) ternyata para pemimpinnya saling menyerang. Kewibawaan lembaga kepresidenannya terjatuh ketika Barack Obama berpidato di senat lalu diinterupsi dengan teriakan “bohong”. Masih ingat dengan Bush yang dilempari sepatu?




Di Indonesia telah lama akar kesantunan berdiri kokoh tiba-tiba dirusak oleh sejumlah elit di tempat yang terhormat saling melempar kata-kata kasar. Kekerasan atas nama agama merebak seperti jamur di musim hujan. Jangankan kepada yang berbeda agama, yang berada dalam satu agamapun saling mencaci. Didesain atau tidak, tapi begitulah faktanya. Toleransi hanya fatamorgana belaka.


Besar kecurigaan jika dogma yang kaku yang menjadi penyebab semuanya. Kehidupan keberagamaan sudah jauh dari pemaknaan. Rutuinitas ibadah hanya sekadar penggugur kewajiban. Agama tidak mencipta kasih sayang, ia hanya mencipta robot-robot manusia yang mengolah kehidupan dengan sangat kaku. Terperangkap ke ibadah formalistic.


Jika kita ingin kembali menapaki sisi heningnya ibadah. Meresapi dalam-dalam pemaknaannya. Bukan karena tidak peduli dengan huru-hara kehidupan dan kemudian menjadi anti sosial. Tapi keheningan zikir mengantarkan kita untuk memandang kehidupan dari puncak. Di situ kita bisa menyaksikan kehidupan menyeluruh. Ibadah adalah sebuah pusat kehidupan yang menyeimbangkan. Inilah yang dimaksud Joseph Campbell dalam karyanya berjudul The Power of Myth: “There is a center of quietness within which is to beheld and known. If you lose that center, you are in tension and begin to fall”


Menyelami ibadah dengan pemaknaan memang tidak serta merta menyelesaikan semua persengketaan, tapi dari sinilah kita mulai mengulur tangan ke kehidupan kemudian menyentuhnya dengan kasih sayang. Diakui atau tidak, ada sisi lain dari kehidupan yang belum terjamah secara baik. Itulah cinta. Bila kita sudah “mencintai”musuh, di situlah awalnya.Saya pikir semua agama memiliki ini, sebuah makna terdalam dari toleransi.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Silahkan Share